PT PLN (Persero) menyanggah narasi yang mengatakan perusahaan membatasi daya pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap hanya 15% dari total kapasitas listrik yang terpasang dari pelanggan rumah tangga maupun industri.
"Kami tidak pernah mengarahkan 10-15%, tetapi lebih bagaimana pemasangan untuk PLTS atap untuk konsumsi sendiri, bukan untuk ekspor ke PLN," kata Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR pada Senin (28/11).
Darmawan mengatakan, sejauh ini PLN masih terus menanggung kelebihan pasokan atau oversupply listrik yang dihasilkan dari sejumlah pembangkit baru bara, gas dan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang diproduksi secara domestik. Adapun, besaran daya listrik di Jawa dalam satu tahun ke depan akan masuk tambahan 6.800 megawatt (MW), sedangkan tambahan permintaan hanya 800 MW.
Adapun di Sumatera selama tiga tahun sampai 2025, penambahan permintaan listrik 1,5 giga watt (GW) terlihat tak sebanding dengan penambahan kapasitas sebesar 5 GW. Hal serupa juga terjadi di kalimantan dan Sulawesi bagian selatan.
Darmawan menjelaskan, kondisi oversupply listrik yang dialami oleh PLN menyebabkan perseroan tidak sanggup menyerap ekspor listrik dari kapasitas terpasang berlebih dari rumah tangga dan industri.
Apalagi, Darmawan mengatakan, penyerapan listrik dari hasil ekspor rumah tangga dan industri berpotensi untuk mengerek beban subsidi dan kompensasi kelistrikan PLN di tahun berjalan. Alasannya untuk penyerapan listrik ekspor itu, PLN mesti mengeluarkan 10 sen per kilowatt hour (kWh).
"Saat ini kalau ada ekspor listrik dari penambahan PLTS atap ke sistem PLN yang kami sedang menghadapi kelebian pasokan ini akan ada penambahan beban bagi APBN subsidi dan kompensasi," ujar Darmawan.
Secara spesifik, Darmawan menjelaskan, penyerapan listrik yang berasal dari ekspor rumah tangga dan industri berpotensi untuk menaikan beban subsidi dan kompensasi kelistrikan PLN. Hal tersebut terjadi lantaran perusahaan harus membayar 10 sen per kilowatt hour (kWh).
"Kalau dipaksa ekspor ke PLN sesuai aturannya kami harus bayar 10 sen per kWh, sedangkan kami sedang hadapi oversupply. Hitung-hitungannya akan menbebani subsidi kompensasi. Tentu saja ini menambah beban bagi keuangan negara " jelasnya.
Oleh sebab itu, Darmawan meminta kepada para pelanggan rumah tangga dan industri yang ingin memasang daya kapasitas PLTS atap untuk menyesuaikan dengan tingkat konsumsi daya listrik sehari-hari agar produksi listrik bersih tidak menambah beban kelebihan pasokan listrik PLN.
Dia mencontohkan, sebuah bangunan yang terinstal daya listrik sebesar 10.000 MW umumnya hanya memiliki tingkat pemakaian sehari-hari di kisaran 2.000 MW. Menurut Darmawan, angka 2.000 MW inilah yang menjadi daya listrik ideal untuk pemasangan PLTS atap.
"Daya terpasang dengan pemakaian itu berbeda. Untuk itu, nanti diukur saja berapa pemakaian sehari hari sehingga yang dipasang itu sesuai pemakaiannya untuk konsumsi sendiri," imbuh Darmawan.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia atau AESI Fabby Tumiwa mengatakan sering memperolah aduan baik dari pihak industri maupun rumah tangga yang merasa dipersulit oleh PLN saat hendak memasang PLTS Atap.
Selain membatasi, PLN juga menambah syarat pemasangan PLTS Atap dengan meminta konsumen menambah daya listrik. "Untuk mendapatkan izin dari PLN, calon pengguna disuruh menambah daya," kata Fabby pada Jumat (23/9).
Dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021, pemasangan PLTS atap disesuaikan dengan kapasitas maksimum yang terpasang. Ketetapan tersebut diatur dalam Pasal 5. Misalnya kapasitas listrik rumah sebesar 1.300 Volt Ampere (VA), maka maksimal pemasangan PLTS Atap adalah 1.300 VA. Tujuannya agar tidak ada unsur mencari keuntungan bisnis bagi masyarakat.
"Kami dibatasi 15%, Kalau mau pasang 1,5 kWp sampai 2 kWp ya naikin dayanya, naikin sampai 7.000 VA. Artinya pelanggan harus membayar biaya lebih mahal," ujar Fabby.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Bali juga melayangkan protes kepada PLN yang membatasi pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap hanya 15% dari total kapasitas listrik yang terpasang. Gubernur Bali, I Wayan Koster, mengatakan keputusan PLN berseberangan dengan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 5 Pemanfaatan PLTS atap.
Dalam SE yang diteken pada Maret lalu, Gubernur Bali mengimbau pemasangan PLTS atap paling sedikit 20% dari kapasitas listrik terpasang pada bangunan lama dan bangunan baru. Imbauan ini juga menyasar kepada para pemilik bangunan komersial, industri, sosial, dan rumah tangga dengan luas lantai lebih dari 500 meter persegi.
Selain meningkatkan suplai listrik dari energi terbarukan, I Wayan Koster menilai pemasangan PLTS atap dapat menggenjot pariwisata di Pulau Dewata. "Hanya saja, masih ada sedikit ganjalan dari PLN karena membatasi pemasangan maksimum 15%," kata I Wayan Koster saat menjadi pembicara dalam diskusi daring bertajuk 'Pembaruan Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional serta Tantangan Menuju Net Zero Emission 2060' pada Kamis (20/10).