Kementerian ESDM menyatakan akan mengevaluasi kinerja industri penerima insentif gas murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBtu. Kementerian energi juga menegaskan tidak akan mengubah patokan harganya.
Hal ini seiring kekhawatiran beberapa pihak yang menilai insentif gas murah tersebut membebani penerimaan negara dari sektor migas. Sedangkan tujuh industri penerimanya dinilai gagal meningkatkan produktivitasnnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan bahwa pemerintah bakal lebih selektif dalam memberikan insentif harga kepada industri tertentu. Menurutnya, distribusi gas murah tepat sasaran akan memberikan dampak yang lebih positif kepada negara ketimbang mengubah besaran HBGT.
"Tidak dievaluasi, kami melihat harga yang sekarang masih memberikan manfaat. Justru kami sekarang sedang mengevaluasi kinerja perusahaan yang menerima gas dengan harga khusus itu," kata Arifin saat ditemui di kantor Kementerian ESDM pada Jumat (17/3).
Penyaluran gas murah diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Aturan tersebut mengatur tujuh industri yang berhak mendapatkan harga gas US$ 6 per mmBtu seperti industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
Arifin menambahkan, distribusi HGBT tepat sasaran kepada industri tertentu bisa mengerek kapasitas produksi perusahaan yang berakhir pada kemunculan efek berganda atau multiplier effect dari sektor perpajakan. "Kalau mereka bagus, kapasitasnya bisa penuh dan ujung-ujungnya bisa ke perpajakan juga," ujar Arifin.
Narasi terkait usul pengubahan HBGT dilontarkan oleh Indonesia Gas Society yang melihat implementasi distribusi gas murah cenderung negatif dari sisi perpajakan. Pemerintah juga dinilai berkorban banyak dengan mengurangi bagiannya di sisi hulu demi terwujudnya HGBT.
Ketua Indonesia Gas Society, Aris Mulya Azof, menyampaikan usul kepada pemerintah agar mempertimbangkan HGBT sedikit lebih tinggi, sehingga besaran HGBT bisa lebih bersahabat pada industri sektor hulu.
Aris menambahkan, mengerek besaran HBGT bisa menekan pengorbanan pemerintah pada sektor hulu yang sampai sejauh ini dinilai belum sebanding dengan manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir.
“Kebijakan ini tidak bisa permanen. Mungkin harga US$6 bisa dikoreksi akibat penerimaan negara secara total terus berkurang," kata Aris dalam siaran pers, Kamis (16/3).
Menurutnya, kebijakan HGBT harus dievaluasi untuk menghitung efek berganda dan nilai tambah yang diharapkan pemerintah, seperti meningkatkan kapasitas produksi, meningkatkan investasi baru, hingga meningkatkan efisiensi proses produksi. "Sehingga produk yang dihasilkan lebih kompetitif dan penyerapan tenaga kerja meningkat,” ujarnya.
Berdasarkan data LPEM Universitas Indonesia kontribusi perpajakan tujuh industri yang mendapatkan HGBT memang mengalami peningkatan tipis dari 2020, yaitu sebesar Rp13.323 miliar menjadi Rp15.896 miliar pada 2021.
Namun dari sisi lain ternyata terjadi penurunan, misalnya pada tahun 2020 realisasi investasi di sektor hilir menurun dari Rp 120.059 miliar menjadi Rp 93.521 miliar.