PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) menyampaikan proses alih aset pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Pelabuhan Ratu milik PLN kepada PT Bukit Asam (PTBA) tengah menunggu kesepakatan perjanjian transaksi jual beli atau offtake aggrement yang terkait dengan skema take or pay listrik kepada PLN.
Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo, mengatakan bahwa PTBA sudah merampungkan studi kelayakan perihal potensi akuisisi PLTU PLN berkapasitas 3 x 350 megawatt (mw) tersebut.
PTBA bersama MIND ID kini masih memikirkan soal potensi serapan listrik dari PLTU Pelabuhan Ratu tersebut seiring dengan komitmen PLN yang gencar mengurangi seterum yang dihasilkan oleh pembangkit energi fosil.
"Kami tidak punya jaringan listrik, maka listriknya mesti diarahkan ke PLN lagi, sementara mereka komitmen tidak beli," kata Dilo di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Rabu (12/4).
Sebagai informasi, MIND ID merupakan holding industri pertambangan BUMN yang beranggotakan PT Inalum, PT Aneka Tambang, PT Bukit Asam, PT Timah, PT Freeport Indonesia, dan PT Vale Indonesia.
Lebih lanjut, kata Dilo, langkah akuisisi PLTU Pelabuhan Ratu oleh PTBA idealnya sepaket dengan kesepakatan perjanjian pembelian tenaga listrik dan skema take or pay kepada PLN. Sehingga produksi listrik yang dihasilkan dari PLTU Pelabuhan Ratu setelah alih aset dapat menghasilkan benefit bagi PBTA.
Skema take or pay mewajibkan PLN untuk menyerap listrik yang diproduksi produsen listrik sesuai dengan kontrak perjanjian jual beli listrik berdasarkan availability factor (AF) atau faktor ketersediaan, dan atau capacity factor (CF) atau faktor kapasitas. Jika tidak, PLN harus membayar pinalti atau denda.
Namun perjanjian jual beli ini tak hanya berlaku take or pay, melainkan juga delivery or pay dari sisi produsen listrik. Artinya, jika para produsen listrik tidak mengirimkan listrik sesuai AF/CF maka mereka harus membayar pinalti atau denda kepada PLN.
PTBA telah meneken perjanjian untuk mengakuisisi mayoritas saham Pembangkit Listrik PLTU Pelabuhan Ratu, senilai US$ 800 juta atau Rp 12 triliun.
Hal itu disepakati dalam bentuk principal framework agreement pada Konferensi Pers SOE Conference pertengahan Oktober tahun lalu. "Soal terkait berapa kapasitas listrik yang diambil oleh PLN dan berapa harganya itu belum jelas," ujar Dilo.
Langkah alih aset tersebut merupakan strategi PLN untuk melakukan pengurangan terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara sekaligus mempercepat pensiun dini PLTU Pelabuhan. PLN menargetkan pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu dapat terlaksana pada 2037 atau 8 tahun lebih cepat dari masa akhir operasi pada 2045.
Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN, Hartanto Wibowo, menyampaikan bahwa para pemangku kebijakan kini masih berusaha memeroleh pendanaan yang murah untuk merealisasikan pensiun dini PLTU PLN yang berlokasi di Pantai Cipatuguran, Jawa Barat tersebut.
"PLTU Pelabuhan Ratu secara teknis akan berumur sampai 2045, kami sedang berupaya untuk memajukan sehingga PLTU itu hanya dioperasikan sampai 2037," kata Hartanto saat menjadi pembicara dalam diskusi daring bertajuk 'Prospek dan Tantangan Energy Transition Mechanism' pada Rabu (29/3).
PLN kini masih menunggu regulasi yang mengatur penggunaan alokasi pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk program pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu.
Pendanaan JETP menjadi altenatif bagi rencana pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu. Lewat skema pendanaan tersebut, Indonesia mendapatkan peluang dana hibah, pinjaman lunak, dan pinjaman komersial bunga rendah di kisaran 3% untuk proyek transisi energi.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN, Evy Haryadi mengatakan bahwa Realisasi pendaaan JETP pada PLTU Pelabuhan Ratu bergantung pada PT. Bukit Asam (PTBA) sebagai pihak yang berencana mengakuisisi PLTU tersebut.
"Karena PTBA yang akan akuisisi milik PLN, maka PTBA akan melihat apakah ini menguntungkan. Kalau tidak menguntungkan bisa jadi, tidak berjalan," kata Evy saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Kamis (16/2).