Harga Biomassa Global dan Lokal Listrik PLN Selisih Dua Kali Lipat
Harga biomassa yang tinggi di pasar luar negeri membuat mayoritas produsen lebih tertarik mengekspor produknya, ketimbang menjualnya kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan, mengatakan harga ekspor biomassa yang berlaku di pasar internasional menyentuh kisaran US$ 110 sampai US$ 120 per ton. Harga ini di luar pajak dan iuran yang akan menjadi pendapatan negara US$ 20 per ton.
Sementara itu, untuk pasar domestik co-firing pada PLTU berada di harga US$ 70 per ton. Angka itu disesuaikan dengan harga patokan tertinggi (HPT) batu bara yang dipatok oleh PLN, yakni mengikuti harga batu bara domestic market obligation (DMO) untuk sektor kelistrikan dengan nilai kalori 6.300 kcal per kilogram (kg).
Milton menjelaskan, komodistas biomassa berupa cangkang sawit untuk co-firing dengan nilai kalori setara batu bara 3.000 sampai 4.000 kcal per kg berada di level Rp 500 hingga Rp 1.000 per kg.
"Regulasi penjualan biomassa untuk pasar domestik co-firing PLTU PLN belum ada. Perbandingan harga ekspor dan co-firing bisa dua berbanding satu. Ini menjawab mengapa pemilik biomassa memilih ekspor," kata Milton lewat pesan singkat pada Jumat (5/5).
Di sisi lain, penerapan harga biomassa untuk sektor industri domestik seperti pabrik tekstil dan makanan ditentukan melalui mekanisme business to business, memperhitungkan jenis biomassa, jarak dan biaya angkut.
Sementara itu, bagi penjualan biomassa untuk Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) sudah diatur lebih dulu melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
"Jadi urutan harga biomassa sekarang dari yang tinggi ke rendah adalah pasar ekspor, Industri dometik, PLTBm dan co-firing PLN," ujar Milton.
Menurut Milton, nihilnya regulasi mengenai penetapan harga biomassa untuk co-firing PLTU PLN Ini menyulitkan program co-firing di dalam negeri yang membutuhkan pengadaan biomassa 10,2 juta ton per tahun pada tahun 2025. Peraturan Menteri (Permen) ESDM Biomassa tak kunjung diterbitkan meski draf aturan tersebut telah selesai sejak 2021.
PLN melaporkan serapan konsumsi biomassa untuk campuran batu bara pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU mencapai 220.000 ton sepanjang kuartal I 2023.
Angka ini setara 20% dari kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini. "Tahun ini masih dipertanyakan apakah target suplai biomassa untuk co-firing sebesar 1 juta ton bisa dicapai," ujar Milton.
Indonesia memiliki produksi biomassa yang cukup progresif. Produksi cangkang sawit nasional bisa menyentuh angka 13 juta ton per tahun.
Sementara itu, produksi tandan kosong sawit dan seruk gergaji berada di kisaran masing-masing 53 juta ton dan 2,5 juta ton per tahun. "Serbuk gergaji ini jenis biomassa yang paling banyak dipakai untuk co-firing," kata Milton.
Kementerian ESDM sedang menyusun rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pemanfaatan Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Regulasi ini akan menjadi acuan dalam pemanfaatan biomassa untuk campuran atau co-firing batu bara PLTU.
"Saat ini rancangan tersebut masih difinalisasi dan didiskusikan secara teknis dengan pemangku kepentingan terkait," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana lewat pesan singkat WhatsApp pada Rabu (26/4).
Apabila rancangan permen tersebut sudah selesai dibahas, selanjutnya akan diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk proses harmonisasi dan diajukan ke Kementerian Sekretariat Negara untuk mendapatkan izin prinsip dari presiden.
"Izin prinsip itu penting sebelum dapat ditetapkan oleh Menteri ESDM," ujar Dadan.
Sebelumnya PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) meminta pemerintah untuk membuat regulasi mengenai pengadaan biomassa untuk campuran atau co-firing batu bara PLTU. Regulasi tersebut ditujukan untuk memberikan dukungan atas jaminan penyediaan biomassa di sektor hulu, hingga pengaturan PLN sebagai pembeli tunggal atas seluruh bahan baku atau offtaker di sisi hilir.