APBI: Aturan Parkir DHE 30% di Dalam Negeri Bebani Pengusaha Batu Bara

ANTARA FOTO/Andri Saputra/pras.
Sejumlah kapal kayu berusaha menarik kapal tongkang bermuatan batu bara melintasi perairan Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Sabtu (29/4/2023).
26/7/2023, 13.37 WIB

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menganggap penerbitan regulasi mengenai penempatan 30% Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam alias DHE SDA berpotensi membebani pelaku usaha.

APBI menilai, pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor Dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam menimbulkan kewajiban baru yang menambah beban eksportir.

Ketua Umum APBI, Pandu Sjahrir, mengatakan ketetapan yang mewajibkan penempatan minimal 30% dari DHE SDA ke sistem keuangan Indonesia selama tiga bulan tersebut berpotensi menyulitkan eksportir dalam mengelola arus kas atau cash flow, terlebih margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30% .

“Maka dengan demikian modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir pun akan tertahan di tengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional,” kata Pandu dalam siaran pers dikutip pada Rabu (26/7).

Pandu menambahkan, tren harga batu bara mengalami penurunan tajam sejak semester dua 2022, sementara disisi lain biaya operasional semakin meningkat.

Selain itu, biaya operasional penambang batu bara pada 2023 diperkirakan meningkat rata-rata 20-25% akibat kenaikan biaya bahan bakar, pengaruh inflasi, dan stripping ratio yang semakin besar sehingga biaya penambangan semakin tinggi. Pandu juga menyoroti naiknya beban biaya penambang akibat kenaikan tarif royalti.

Tarif royalti pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik dari rentang 3-7% menjadi 5-13% yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 2022 yang berlaku Agustus 2022 lalu. Sementara bagi pemegang IUPK-Kelanjutan Operasi Produksi (eks-PKP2B), tarif royalti tertinggi mencapai 28% yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 2022.

Lebih lanjut, kata Pandu, perusahaan eksportir batu bara juga tidak dapat memaksimalkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas dalam dua tahun terakhir akibat masih lebarnya disparitas antara Harga Batu bara Acuan (HBA) dengan harga jual aktual.

“Sampai saat ini sejak awal 2022, lebarnya gap antara HBA dan harga jual aktual menyebabkan perusahaan membayar kewajiban pembayaran royalti menjadi jauh lebih besar,” ujar Pandu.

Beragam kondisi tersebut menyebabkan beban yang ditanggung pelaku usaha makin tinggi, sementara tren harga terus menurun yang berdampak pada profit margin semakin tergerus jauh di bawah 30%. Mayoritas pelaku usaha pertambangan batu bara meyakini hal itu bakal berpengaruh terhadap modal usaha.

“Hal ini menambah beban eksportir yang dituntut untuk melakukan dekarbonisasi di era transisi energi sementara pendanaan untuk proyek-proyek berbasis batu bara semakin sulit,” kata Pandu.

Pandu menyatakan APBI mendukung penguatan cadangan valuta asing nasional. Perusahaan-perusahaan anggota juga telah berupaya mengikuti aturan di dalam PP No. 1 Tahun 2019. Namun APBI melihat penerbitan PP 36 Tahun 2023 yang mengatur kewajiban penempatan DHE SDA akan menambah beban perusahaan di tengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional.

Hal itu nantinya akan menyulitkan perusahaan dalam mengatur arus kas untuk berbagai kebutuhan mendesak, termasuk pembayaran ke kontraktor serta para vendor lainnya.

“Sehubungan dengan hal tersebut, maka kami memohon agar Pemerintah dapat membuka ruang untuk diskusi dengan pelaku usaha membahas peraturan pelaksanaan dari PP 36 tahun 2023 agar kewajiban penempatan DHE SDA dapat berlangsung dengan baik,” ujar Pandu.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu