Pemerintah berencana mulai melaksanakan distribusi Pertamax Green 92 pada 2026. Bahan bakar minyak (BBM) tersebut merupakan hasil campuran BBM Pertalite dengan kandungan 7% bioetenol atau E7.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan realisasi distribusi Pertamax Green 92 masih dalam tahap kajian Kementerian ESDM dan PT Pertamina selaku badan usaha distribusi BBM pemerintah.
Alasannya, penyaluran Pertamax Green 92 akan berdampak ada penyetopan penjualan Pertalite. Pertalite merupakan BBM dengan tingkat konsumsi terbanyak secara nasional, hampir 80% di antara BBM jenis Bensin lainnya, seperti Pertamax, dan Pertamax Turbo.
"Pertamax Green 92 masih 2026, masih lama untuk skala besarnya," kata Tutuka di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (15/9).
Menurut Tutukan, penghapusan distribusi Pertalite butuh kajian detail dan mendalam, karena sifatnya yang menjadi produk BBM domestik paling banyak dikonsumsi masyarakat.
"Pemerintah harus melihat daya beli masyarakat dan dampak kondisi sosial. Sekarang ini masih kajian teknis. Setelah itu baru masuk ke arah perhitungan ekonomi, bisa diterapkan atau tidak," ujar Tutuka.
Lebih lanjut, kata Tutuka, Kementerian ESDM bersama Pertamina sedang merancang peningkatan kadar bioetanol dalam campuran BBM Pertamax Green 95 yang telah diluncurkan sejak 24 Juli 2023.
Kadar bioetanol pada Pertamax Green 95 akan ditingkatkan menjadi 8% mulai tahun depan. Kadar larutan itu lebih tinggi dari hasil campuran Pertamax beroktan 92 dengan kandungan 5% bioetanol saat ini. "Pertamax Green 95 untuk tahun depan dinaikkan menjadi E8," kata Tutuka.
Sebelumnya, Pertamina mengusulkan pengalihan distribusi BBM bersubsidi dari Pertalite ke Pertamax Green 92.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, usulan mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 merupakan implementasi paket kebijakan yang tertuang dalam ‘Program Langit Biru Tahap II’.
Melalui program tersebut, perseroan mengusulkan Pertamax Green 92 sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan atau JBKP menggantikan Pertalite.
“Ketika ini menjadi program pemerintah, harganya akan diatur. Tidak mungkin JBKP hanya diserahkan ke pasar,” kata Nicke saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Rabu (30/8).