Pemerintah Diminta Cermati Dampak Bursa Karbon Terhadap Tarif Listrik

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.
Presiden Joko Widodo berpidato saat peresmian bursa karbon Indonesia di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Penulis: Nadya Zahira
3/10/2023, 14.06 WIB

Perdagangan karbon melalui bursa karbon yang belum lama ini diluncurkan dinilai akan berdampak pada tarif listrik. Pemerintah dinilai harus mencermati dampak tersebut agar tidak membebani masyarakat.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan perdagangan karbon akan membantu Indonesia mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Namun dia menilai sektor kelistrikan akan paling merasakan dampak perdagangan karbon, khusunya terhadap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.

“Ini konsekuensi yang harus diantisipasi oleh pemerintah, karena pasti akan ada dampaknya ke BPP tenaga listrik. Sebelumnya tidak ada biaya tambahan (additional cost), dengan adanya bursa karbon tentu akan ada biaya tambahan,“ ujarnya dalam CNBC Energy Corner, Selasa (3/10).

Komaidi menjelaskan, biaya tambahan yang dikeluarkan itu tergantung dari regulasi cap and trade-nya. Kalau dari sisi cap-nya berlebih, maka akan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Adapun cap and trade merupakan variasi perdagangan bursa karbon, untuk memungkinkan penjualan kredit emisi antar perusahaan.

“Ini tergantung karbonnya kira-kira cap-nya ditetapkan di berapa, dan kemudian selisihnya berapa, itu yang nantinya akan menjadi additional cost bagi teman-teman di sektor kelistrikan,” kata dia.

Selain itu, dia mengatakan bahwa sampai sejauh ini berdasarkan satuan produksi, sebagian besar sekitar 70% produksi listrik di Indonesia masih berbasis energi fosil terutama batu bara. Oleh sebab itu, Komaidi meminta pemerintah untuk cermat dalam penerapan bursa karbon tersebut.

Menurut dia meski adanya bursa karbon itu baik untuk lingkungan dan bisa mengurangi emisi karbon, tetapi pemerintah juga harus melihat dari aspek sosial, ekonomi, dan daya beli masyarakat termasuk juga kelangsungan bisnis dari Independent Power Producer (IPP).

“Jadi harus dilihat dari semua aspek, dari semua sudut pandang kira-kira yang paling optimal dimana, dan tentu nanti harus diseimbangkan. Kira-kira di titik berapa yang harus dibayar, katakanlah ini menjadi penting supaya semuanya bisa berjalan secara optimal,” kata dia.

PLTU Batu Bara akan Berpartisipasi dalam Perdagangan Karbon

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara akan ikut berpartisipasi dalam perdagangan bursa karbon pada tahun ini. Perdagangan karbon itu akan menggunakan regulasi cap and trade.

“PLTU batu bara ini sedang jalan bursa karbonnya, dan targetnya tahun ini. Regulasinya cap and trade,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, saat ditemui awak media di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (29/9).

Dengan demikian, PLTU batu bara dalam perdagangan karbonnya nanti harus menerapkan sistem cap and trade tersebut, di mana emisi karbon dioksida (CO2) untuk produksi listrik memiliki batas atas yang berbeda-beda sesuai kelas atau kapasitas pembangkit.

“Ada cap (batas atas) nya. Ini bicara tentang emisi CO2 untuk produksi listrik. Batasnya itu beda-beda, tergantung kapasitas pembangkitnya, karena ada beberapa kelas. Misalkan, batasnya 1,05 kilogram (kg) CO2/Kilowatt Hour (KwH), jika lebih dari itu, dia harus menurunkan,” ujar Dadan.

Kementerian ESDM akan terus mendorong perdagangan bursa karbon. Selain itu, Kementerian ESDM juga menargetkan perdagangan karbon tersebut bisa diperluas ke seluruh jenis pembangkit listrik tenaga fosil pada 2025.

Pelaksanaan perdagangan karbon diatur melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik yang ditetapkan oleh Menteri ESDM pada akhir Desember 2022.

Untuk diketahui, bursa karbon merupakan sebuah sistem yang mengatur pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon.

Reporter: Nadya Zahira