Pelaksanaan perdagangan karbon melalui bursa karbon dinilai akan menyebabkan biaya tambahan bagi perusahaan produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan tambahan biaya tersebut yaitu untuk membeli karbon dan tambahan perpajakan. "Beban biaya tersebut nantinya akan dibebankan kepada pemilik PLTU atau kepada PLN, hingga konsumen," ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (4/10).
Oleh sebab itu, Arthur menyarankan kepada semua pihak yang berkaitan dengan perdagangan karbon Indonesia, untuk bisa mencermati dan melihat dampak ekonomi yang ditimbulkan dari adanya bursa karbon tersebut.
“Jadi itu perlu kita cermati secara policy, karena bursa karbon ini baru saja diterapkan di Indonesia, agar tidak ada yang dirugikan,” kata dia.
Dengan demikian, dia menilai kedepannya biaya yang akan dikeluarkan untuk bursa karbon diprediksi akan semakin mahal atau naik. Dia juga meminta pemerintah untuk segera memiliki aturan yang jelas mengenai sektor industri yang akan terkena kewajiban pengurangan emisi gas rumah kaca.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan perdagangan karbon akan membantu Indonesia mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060. Namun dia menilai sektor kelistrikan akan paling merasakan dampak perdagangan karbon, khususnya terhadap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.
“Ini konsekuensi yang harus diantisipasi oleh pemerintah, karena pasti akan ada dampaknya ke BPP tenaga listrik. Sebelumnya tidak ada biaya tambahan (additional cost), dengan adanya bursa karbon tentu akan ada biaya tambahan,“ ujarnya dalam CNBC Energy Corner, Selasa (3/10).
Komaidi menjelaskan, biaya tambahan yang dikeluarkan itu tergantung dari regulasi cap and trade-nya. Kalau dari sisi cap-nya berlebih, maka akan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Adapun cap and trade merupakan variasi perdagangan bursa karbon, untuk memungkinkan penjualan kredit emisi antar perusahaan.
“Ini tergantung karbonnya kira-kira cap-nya ditetapkan di berapa, dan kemudian selisihnya berapa, itu yang nantinya akan menjadi additional cost bagi teman-teman di sektor kelistrikan,” kata dia.
Selain itu, dia mengatakan bahwa sampai sejauh ini berdasarkan satuan produksi, sebagian besar sekitar 70% produksi listrik di Indonesia masih berbasis energi fosil terutama batu bara. Oleh sebab itu, Komaidi meminta pemerintah untuk cermat dalam penerapan bursa karbon tersebut.
Menurut dia meski adanya bursa karbon itu baik untuk lingkungan dan bisa mengurangi emisi karbon, tetapi pemerintah juga harus melihat dari aspek sosial, ekonomi, dan daya beli masyarakat termasuk juga kelangsungan bisnis dari IPP.