Pemerintah Jerman telah merestui pengoperasian kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara lignit mulai Oktober hingga akhir Maret 2024. Langkah ini untuk mengantisipasi kelangkaan gas alam pada musim dingin dan menjaga keamanan energi.
Sejatinya Jerman telah menjadwalkan penutupan PLTU batu bara secara terkoordinasi dan progresif dengan bantuan pendanaan dari pemerintah sebesar € 40 miliar atau hampir Rp 660 triliun.
Namun Jerman memperpanjang masa operasi PLTU sejak tahun lalu seiring dengan adanya gangguan pasokan gas alam dari Rusia, sebagai dampak dari perang negara tersebut dengan Ukraina, ditambah dengan kegagalan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Prancis.
Langkah darurat yang diputuskan tahun lalu itu akan diperpanjang hingga musim dingin mendatang, sehingga kapasitas PLTU yang menggunakan batu bara lignit tetap siap sebesar 1,9 gigawatt (GW) untuk menambah kapasitas PLTU batu bara yang sudah ada sebesar 45 GW.
PLTU batu bara lginit memiliki satu tujuan, yakni mengurangi penggunaan gas alam yang mahal dari pasar listrik pada saat permintaan puncak musim dingin sebagai cara untuk menjaga agar masyarakat tidak terbebani dengan tarif listrik yang tinggi.
“Cadangan pasokan akan diaktifkan kembali untuk menghemat gas dalam pembangkitan listrik dan dengan demikian mencegah kemacetan pasokan gas pada periode pemanasan 2023/2024,” kata pemerintah Jerma, dikutip dari Euractiv.com, Jumat (6/10).
Dengan menghidupkan kembali PLTU, penghematan gas diperkirakan antara 3,9 terawatt-jam (TWh) hingga 5,6 TWh, sehingga harga listrik dapat dipertahankan rendah di kisaran € 0,4 per megawatt-jam (MWh) hingga € 2,8 per MWh.
Dampak Iklim yang Signifikan
Penghematan tersebut bukan penghematan yang kecil. Namun, karena PLTU menggunakan batu bara lignit sebagai bahan bakar, yang dianggap sebagai pencemar berat, maka dampaknya terhadap iklim diperkirakan cukup signifikan.
Pemerintah Jerman telah mengumumkan bahwa mereka akan berupaya untuk menilai emisi karbon tambahan yang disebabkan oleh penyalaan kembali PLTU batu bara yang berkisar antara 2,5-5,6 ton CO2.
“Tujuan idealnya untuk menyelesaikan penghentian penggunaan batu bara pada tahun 2030 tetap tidak terpengaruh, begitu pula dengan target iklim,” tegas pemerintah.
Sejauh ini, data mendukung pernyataan tersebut. Pada kuartal ketiga tahun 2023, negara ini menghasilkan jumlah listrik terendah yang pernah ada dengan menggunakan bahan bakar batu bara – hanya 22,2 TWh. Delapan tahun lalu, angkanya berada di atas 60 TWh.