Harga minyak turun sekitar 1% ke level terendahnya dalam tiga pekan terakhir seiring langkah bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve atau The Fed mempertahankan suku bunga dan penguatan nilai tukar dolar.
Fed mempertahankan suku bunga tinggi namun masih tetap membuka peluang untuk kenaikan lebih lanjut seiring kuatnya pertumbuhan ekonomi AS. Kenaikan suku bunga akan mengerem laju pertumbuhan ekonomi dan menekan permintaan minyak.
Sementara penguatan nilai tukar dolar terhadap sekeranjang mata uang dalam empat pekan berturut-turut akan membuat minyak relatif lebih mahal bagi mata uang lainnya, sehingga berpotensi menekan permintaan dan harga.
Minyak mentah Brent turun 39 sen atau 0,46% menjadi US$ 84,63 per barel, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) AS turun 58 sen atau 0,7% ke level US$ 80,44 per barel. Perdagangan sangat berfluktuasi dengan kedua harga minyak acuan ini sempat melonjak hingga US$ 2 per barel.
The Fed, yang mulai menaikkan suku bunga pada Maret 2022, mempertahankan suku bunga tetap tinggi pada kisaran 5,25-5,50% namun tetap membuka peluang untuk kenaikan lanjutan pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) berikutnya.
Langkah ini diambil di tengah kebimbangan para pejabat The Fed apakah suku bunga yang ada sekarang sudah cukup untuk mengendalikan inflasi atau ekonomi masih membutuhkan pembatasan. Hal ini karena inflasi masih jauh di atas target Fed 2% yakni 3,4% pada September.
Sentimen Timur Tengah Masih Membebani
Meski begitu, analis komoditas menilai pasar minyak masih berfokus pada outlook permintaan yang melemah, “dan apakah perkembangan dari perang Israel-Hamas akan mengganggu pasokan minyak di masa depan,” kata analis komoditas dari OANDA yang berbasis di New York, AS.
Adapun perkembangan terakhir di Jalur Gaza, kelompok pertama orang-orang yang terluka telah berhasil dievakuasi ke Mesir, menurut laporan media Mesir. Sementara itu Israel kembali menyerang kamp pengungsian untuk memburu para pemimpin Hamas.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei meminta negara-negara Muslim untuk menghentikan ekspor minyak dan makanan ke Israel, menuntut diakhirinya pemboman terhadap Jalur Gaza.
Iran yang merupakan anggota kartel minyak global OPEC, memproduksi sekitar 2,5 juta barel per hari (bph) minyak mentah pada 2022. Negara-negara barat, terutama AS, menuding Iran memiliki kontribusi pada serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu, meski tidak ada bukti.
Namun Iran terancam sanksi dari AS yang lebih berat jika terindikasi memberikan bantuan kepada Hamas dalam melancarkan serangan ke Israel.
Callum Macpherson, kepala analis komoditas di Investec, sebuah bank manajemen investasi yang berbasis di Afrika Selatan, mengatakan bahwa jika tidak ada ancaman terhadap produksi akibat perang, minyak mungkin akan kesulitan mempertahankan harga di kisaran tertinggi baru-baru ini.
“Harga minyak tidak akan bertahan tetap tinggi tanpa dukungan dari pemangkasan pasokan dari OPEC+ hingga tahun 2024, sehingga pertemuan mereka akhir bulan ini menjadi penting,” kata Macpherson.