Prabowo Tebar Janji Tak Akan Impor BBM, Pakar Energi: Tidak Realistis

ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/tom.
Pekerja mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) mobil tangki di Fuel Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Tegal, Munjungagung, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (20/10/2023). TBBM Tegal yang menempati lahan seluas 1,6 hektare itu beroperasi sejak 1 Juli 2020 dan saat ini menyalurkan BBM ke 91 SPBU, delapan SPBUN dan 164 outlet pertashop.
Penulis: Mela Syaharani
1/12/2023, 14.08 WIB

Calon presiden (capres) Prabowo Subianto berjanji akan menghentikan impor bahan bakar minyak (BBM) jika nantinya ia terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029. Dia menilai Indonesia mampu memenuhi kebutuhan BBM-nya sendiri, sehingga tidak diperlukan lagi impor.

Pengamat energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan pernyataan tersebut tidak akan bisa berwujud. “Statement itu tidak realistis dan mustahil untuk bisa diterapkan. Semata-mata untuk kepentingan elektabilitas, jadi itu malah mengarah kepada gimmick gagasan,” ujarnya kepada Katadata.co.id pada Kamis (30/11).

Fahmy menyebut sebab melihat kondisi saat ini, kemandirian Indonesia dalam menyediakan kebutuhan BBM masih sulit dicapai. “Melihat data konsumsi dari BBM, kemudian kemampuan kilang kita, serta produksi minyak mentah kita juga turun,” ujarnya.

Tak hanya soal larangan impor, Prabowo juga mendorong produksi BBM ramah lingkungan seperti biodiesel. Menanggapi ini, Fahmy menyampaikan pernyataan tersebut semakin sulit untuk diwujudkan. “Dia mengatakan akan migrasi ke energi bersih, energi baru terbarukan. Nah itu kondisinya jauh lebih parah,” kata dia

Fahmy menyampaikan produksi energi bersih Indonesia saat ini masih belum maksimal. Produksi biodiesel Pertamina juga masih sangat terbatas.

“Misalnya dipaksakan juga, ini akan menimbulkan masalah baru, akan bentrok antara penggunaan sawit untuk bahan bakar atau untuk pangan,” ujarnya.

Menurutnya, janji para calon pemimpin akan lebih realistis apabila fokus membahas mengenai ketahanan energi. “Menyangkut masalah ketersedian dengan harga terjangkau, itu jauh lebih realistis,” ucapnya.

Tak hanya menyediakan kebutuhan serta keterjangkauan harga, Fahmy menyebut usaha untuk melakukan pengetatan pembatasan bagi konsumen BBM bersubsidi lebih dibutuhkan.

“Agar dinikmati oleh konsumen yang benar-benar membutuhkan. Tidak seperti sekarang, itu konsumen Pertalite dan solar masih salah sasaran. Barangkali itu yang harus diprioritaskan,” kata dia.

Indonesia Net Importir Minyak Sejak 2003

Secara historis, Indonesia telah lama menjadi importir bersih (net importir) minyak, baik minyak mentah maupun BBM, yakni sejak 2003. Di sisi lain ekspor masih berjalan, namun porsinya jauh lebih kecil dibandingkan impor.

Pada 2021, Indonesia mengimpor minyak mentah dan hasil minyak sebesar US$21,4 miliar sementara ekspornya hanya US$4,8 miliar. Salah satu penyebab tingginya impor ini adalah konsumsi dalam negeri yang lebih besar dari produksi.

Data BP Statistical Review of World Energy menunjukkan, produksi minyak Indonesia diproyeksikan hanya 644 ribu barel per hari (bph). Capaian tersebut turun drastis dibandingkan pada 2012 yang masih mencapai 917 ribu bph. Sedangkan konsumsi tahun ini diproyeksikan mencapai 1,77 juta bph, meningkat dari 1,63 juta bph pada 2012.

Indonesia pun tidak hanya mengimpor BBM jadi, tetapi juga minyak mentah. Neraca energi Indonesia 2022 menunjukkan Indonesia memproduksi 223,5 juta barel minyak mentah dan mengimpor 104,7 juta barel.

Menurut data BPS, Nigeria merupakan asal impor minyak terbesar Indonesia pada 2022 dengan 5,68 juta ton atau US$ 4,19 miliar. Setelah itu Arab Saudi dengan 4,19 juta ton atau US$ 3,13 miliar, Azerbaijan: 1,09 juta ton atau US$ 839,91 juta, Angola 1,08 juta ton atau US$ 837,64 juta, dan Australia 689,05 ribu ton atau US$ 569,76 juta.

Reporter: Mela Syaharani