Pemerintah tahun ini menetapkan kuota LPG 3 kg sebanyak 8,03 juta ton. Jumlah ini mengalami kenaikan 0,03 juta ton dari kuota 2023 yang hanya mencapai 8 juta ton.
Dalam realisasinya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kuota elpiji bersubsidi itu mengalami pembengkakan menjadi 8,07 juta ton di sepanjang 2023.
Pengamat energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan jebolnya kuota karena adanya migrasi konsumen elpiji non-subsidi ke yang subsidi. "Sehingga permintaan LPG 3 kg terus meningkat, sementara yang 12 kg menurun,” katanya saat dihubungi Katadata.co.id pada Kamis (4/1).
Fenomena perpindahan ini cukup berbahaya, apalagi pemerintah kurang serius dalam melakukan pembatasan. Apabila permintaan LPG 3 kg meningkat pesat tapi pasokan terbatas, maka harganya anak naik. "Yang bebannya bertambah ya orang miskin yang seharusnya memperoleh subsidi. Ini tidak menjadi perhatian pemerintah, seolah0olah membiarkan saja," ucap Fahmy.
Sebagai informasi, menurut catatan Kementerian ESDM, kuota subsidi LPG pada 2020 mencapai 7 juta ton dengan realisasinya di angka 7,14 juta ton. Kemudian di 2021, pemerintah menaikkan kota subsidi LPG menjadi 7,5 juta ton dengan angka realisasi sebanyak 7,46 juta ton atau masih di bawah target. Lalu, pada 2022 pemerintah menetapkan angka kuota LPG subsidi sebanyak 8 juta ton dengan realisasi hanya 7,8 juta ton saja.
Berbeda dengan penjelasan Fahmy, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan naiknya kuota elpiji subsidi karena terjadi pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Apabila pertumbuhan ekonomi naik 1%, maka tambahan kebutuhan energinya sekitar 1,5 hingga 2 kali lipat lebih banyak, tergantung efisiensi.
Artinya, kalau ekonominya tumbuh 1%, maka energiya butuh 2%. Angka ini juga meliputi kebutuhan untuk memasak di dapur, termasuk LPG. "Apalagi kalau jumlah penduduknya bertambah, maka otomatis kebutuhan energi untuk memasak juga akan bertambah,” kata Komaidi.
Pertumbuhan ekonomi tersebut akhirnya juga memberi beban kepada pemerintah semakin besar. “Maka ada LPG yang subsidi dan ada non-subsidi. Yang subsidi sesuai kemampuan fiskal pemerintah. Yang non-subsidi ke tabung elpiji 5,5 kg atau 12 kg, dan lainnya,” ucapnya.
Sama seperti Fahmy, Komaidi juga mengatakan pemerintah belum melakukan pembatasan secara tegas. “Meskipun di dalam tabung 3 kg itu ditulis hanya untuk masyarakat miskin, tapi dalam regulasinya tidak ada aturan yang jelas,” ujarnya.
Komaidi juga menyoroti perihal asal mula adanya program LPG. Program ini bagian dari konversi minyak tanah ke gas yang saat itu diinisiasi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Ketika itu minyak tanah masih digunakan sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memasak. "Program ini untuk menggantikan minyak tanah, prinsipnya konversi. Artinya, yang dulu menggunakan minyak tanah itu berhak semua. Ini filosofi dasarnya,” ucap dia.