Pertamina Remajakan 22 Kapal Tanker, Tekan 2,8 Juta Ton CO2 per Tahun

Dok. PT Pertamina International Shipping (PIS)
Kapal tanker migas milik PT Pertamina International Shipping (PIS).
Penulis: Happy Fajrian
19/1/2024, 16.22 WIB

Pertamina (Persero) melalui anak usaha Pertamina International Shipping (PIS) meremajakan 22 unit kapal tanker demi menekan emisi karbon hingga 2,8 juta ton CO2 per tahun pada 2030.

“Kami lakukan dengan peremajaan armada yakni bisa dijual kemudian membeli yang baru atau membuat kontrak baru,” kata Direktur Armada PIS Muhammad Irfan Zainul Fikri di sela konferensi Bali Ocean Days di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Jumat (19/1).

Dia menjelaskan saat ini pihaknya mengoperasikan sebanyak 370 kapal tanker untuk distribusi energi baik domestik maupun internasional. Dari jumlah itu, 98 unit kapal tanker di antaranya merupakan milik sendiri dan sisanya merupakan kapal sewa.

Hingga saat ini, kata dia, lima unit kapal tanker sudah dijual di wilayah Indonesia dengan skema lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Meski tidak menyebutkan rinciannya nilai jual keseluruhan, ia memberikan gambaran nilai jual per unit untuk ukuran kapal tanker dengan bobot mati hingga 80 ribu ton menembus Rp 78 miliar dan kapal ukuran lebih kecil mencapai Rp 13 miliar.

Kapal yang dijual itu merupakan kapal berusia tua atau berusia di atas 25 tahun yang boros konsumsi bahan bakarnya.

“Kapal tua yang kami jual itu kemudian diganti dengan kapal lebih baru, lebih muda, dan tentu dengan konsumsi bahan bakar lebih rendah, harapannya semakin sedikit BBM yang dibakar, semakin sedikit emisi yang terbuang dalam bentuk CO2,” kata dia.

Ia memberikan gambaran, distribusi dilakukan hingga mencapai 50 negara di dunia misalnya ke Chile di Amerika Selatan diperkirakan satu unit kapal tanker ukuran 301 ribu ton bobot mati (dead weight) mencapai 54 ton BBM per hari.

Selain menjual besi tua dan kontrak baru, untuk menekan emisi karbon juga dilakukan dengan inovasi bahan bakarnya. Saat ini 60% kapal milik PIS mengkonsumsi bahan bakar rendah emisi yakni Low Sulphur Fuel Oil (LSFO) dan 40% sisanya masih menggunakan High Sulphur Fuel Oil (HSFO).

Selain menyasar BBM LSFO, pihaknya juga menggunakan BBM gas yang saat ini sudah ada tiga kapal tanker jumbo mengonsumsi gas. “Harapannya 30% menggunakan BBM lebih hijau contohnya gas LNG, LPG, amonia bahkan ke depan hidrogen akan kami geser semua,” ucapnya.

Bahan bakar LSFO, kata dial dapat dikonversi juga dengan program pemerintah yakni B35 dan B40 atau BBM campuran minyak kelapa sawit. Namun, Irfan mengatakan bahwa penggunaan B35 dan B40 memiliki tantangan karena belum menemukan penyedia di luar negeri.

Sehingga saat ini hanya mengoperasikan kapal berbahan bakar campuran sawit itu di dalam negeri. Irfan mengungkapkan bahwa transisi energi pada armada kapal PIS membutuhkan biaya yang besar.

“Misalnya untuk instalasi alat hemat energi bisa menembus US$ 300 ribu (sekitar Rp 4,7 miliar) untuk satu peralatan per satu kapal tanker,” kata dia.

Reporter: Antara