Pakar Usulkan Insentif untuk Pengembangan Industri Daur Ulang Nikel

ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/YU
Warga mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Penulis: Mela Syaharani
20/2/2024, 20.06 WIB

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menekankan perlunya untuk fokus mengembangkan industri daur ulang nikel. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan hal ini untuk menghindari dampak negatif atau ekonomi dari kegiatan hilirisasi nikel.

“Kami mengharapkan tujuan jangka menengah untuk pertambangan itu mulai ditransisikan ke industri daur ulang,” ujarnya dalam peluncuran studi Refleksi Kebijakan Hilirisasi Nikel Dampak Terhadap Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat oleh Centre for Research on Energy and Clean Air, dipantau secara daring Selasa (20/2).

Bhima menyebut, dalam pengembangan sumber daya alam, seharusnya pemerintah menaruh fokus lebih untuk memberikan insentif yang lebih besar bukan kepada industri pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) namun kepada industri daur ulang dari baterai.

“Sehingga tidak terus melakukan ekstraksi dan ini ternyata menjadi salah satu tren yg terjadi di AS, Eropa, di banyak negara, mereka memberikan insentif utk melakukan recycle. Karena sudah beberapa peringatan juga bahwa stok dari nikel yang digunakan untuk bahan baku kendaraan listrik mungkin tidak sebanyak yang kita kira,” ujarnya.

Bhima menyebut beberapa asosiasi pertambangan sudah mengingatkan bahwa dalam rentang tujuh hingga lima belas tahun lagi cadangan nikel akan habis.

“Jika tidak ada perubahan tata kelola seluruhnya di dalam industri hasil olahan nikel, maka kita akan menjadi importir dari bahan baku bijih nikel itu sendiri kalau tidak mempersiapkan industri daur ulang yang tepat,” kata dia.

“Jadi silahkan tambang dan silahkan lakukan hilirisasi, tapi tidak pernah ada jawaban ketika resourcenya kemudian semakin berkurang,” ujarnya menambahkan.

Bahkan menurut Bhima dari kurangnya kontrol akan eksploitasi yang masif ini sampai membuat sebuah perusahaan smelter yang mengimpor bijih nikel. “Itu kan menjadi salah satu peringatan sebenarnya,” ujar Bhima.

Menurut Bhima, seharusnya sejak awal adanya penerbitan izin smelter nikel, pemerintah melekatkan insentif tax holiday dan lain-lain dengan industri daur ulang. “Maka mari mendorong industri recycle menjadi mainstream utama, bukannya hilirisasi,” kata dia.

Bahkan Bhima mengatakan, menurutnya dampak panjang dari ketidaktepatan pengelolaan nikel ini dapat membuat nikel Indonesia akan dihargai rendah. “Industri baterai akan terus melakukan riset untuk mencari pengganti nikel,” ucap Bhima.

Selain mendorong pengembangan industri daur ulang, Bhima juga menyebut perlunya pemerintah untuk merevisi pembangunan PLTU di kawasan industri. Perpres 112 direvisi, pembatalan izin smelter baru.

“Kalau stok nikel semakin terbatas, yang perlu dilakukan adalah perlu smelter yang existing. Apa sudah menerapkan ESG? Apa AMDAL-nya terbuka pada publik? Semua harus dievalusasi agar kita tak percaya pada false hope bahwa hilirisasi di atas 7% ekonominya kalau business as usual,” ujar Bhima.

Reporter: Mela Syaharani