Harga Nikel Bangkit, ESDM: Sinyal Peringatan untuk Pengusaha

PT Antam TBK
Nikel.
Penulis: Mela Syaharani
26/4/2024, 16.54 WIB

Kementerian ESDM menilai wajar kenaikan harga nikel acuan Indonesia pada April 2024 usai terkoreksi sejak Juni 2023. Harga tercatat naik 8,7% menjadi US$ 17.424,52 per ton metrik kering (dmt).

Harga nikel pada awal perdagangan Senin (22/4) mencapai level tertinggi dalam tujuh bulan terakhir. Harga nikel untuk tiga bulan pada London Metal Exchange (LME) pada 02.00 GMT naik 0,8% menjadi US$ 19.740 per ton.

Harga tersebut tercatat naik 8,6% dibandingkan minggu sebelumnya. Sementara harga nikel untuk kontrak pengiriman Juni melonjak 6% menjadi US$ 20.389,68 per ton atau 147.660 yuan, menjadi level tertinggi sejak Oktober 2023. Sementara pada penutupan perdagangan Kamis (25/4) di LME, harga turun 0,32% menjadi US$ 18.945 per ton.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangann Industri Sektor ESDM, Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan bahwa harga memang berfluktuasi. “Jadi harga komoditas itu memang naik dan turun,” ujarnya saat ditemui di Kementerian ESDM pada Jumat (26/4).

Agus mengatakan naiknya harga komoditas harus dijadikan sinyal peringatan bagi para pengusaha. Ketika harga meningkat harus menjadikan hal tersebut sebagai momentum untuk menyimpan bonus keuntungan dari kenaikan harga.

“Harus disimpan untuk dipakai pada saat nanti harga komoditas turun. Para pengusaha harus siap saat keadaan terjelek, tapi itu memang competitiveness daripada perusahaan yang mana tidak selamanya di atas,” ujarnya.

Ketua Umum Perhimpunan Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan hal ini disebabkan oleh beberapa hal, dua di antaranya yaitu kondisi geopolitik yang memanas di Timur Tengah dan masalah pasokan.

“Bisa karena geopolitik global saat ini yang tidak menentu dan perang di Ukraina dan Israel-Iran yang memberikan dampak ketidakpastian terhadap ekonomi global. Adanya sanksi terhadap nikel Rusia oleh US dan Inggris yang berakibat Rusia tidak bisa ekspor nikel ke LME,” kata Rizal kepada Katadata.co.id.

Selain geopolitik, kenaikan juga disebabkan oleh kondisi suplai nikel saat ini. “Karena kekurangan stok di pasar, inventory berkurang. Kemudian suplai dari produsen nikel seperti Indonesia, Australia dan lain-lain,” ujarnya.

Kekurangan suplai ini imbas dari beberapa penutupan tambang nikel di Australia akibat penurunan harga nikel global. Rizal menyebut penutupan tersebut akan berpengaruh terhadap suplai. “Khusus Indonesia karena banyak perusahaan yang belum mendapatkan pengesahan RKAB sehingga menyebabkan ketidakpastian suplai,” ucapnya.

Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro juga mengatakan bahwa naiknya tren harga nikel dipengaruhi kondisi geopolitik.

“Ini juga memberikan dampak terhadap permintaan komoditas tambang yang biasanya untuk bahan baku supporting di masalah perang begitu. Seperti pembuatan pesawat, pembuatan kendaraan maupun di persenjataan lainnya biasanya membutuhkan komponen-komponen dari hasil tampang,” ujarnya.

Selain itu, Komaidi mengatakan kenaikan ini juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi menuju normal. “Artinya akan ada perbaikan dibandingkan Covid kemarin. Memang sudah menuju ke titik normal kembali, sehingga kebutuhan bahan baku naik. Nah, pasca kemarin dapat sentimen positif dari EV atau mobil listrik,” ujarnya.

Reporter: Mela Syaharani