Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tengah menyusun kajian internal terkait potensi manfaat pengelolaan tambang batu bara untuk kepentingan umum, seperti untuk membiayai pendidikan, kesehatan, hingga pembiayaan melalui BPR syariah.
Kajian tersebut melingkupi aspek kemampuan sumber daya manusia serta hitung-hitungan aspek keuangan dan pembiayaan operasional pertambangan.
Anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ihsan Tanjung mengatakan studi internal itu akan digunakan sebagai acuan jika Muhammadiyah sepakat untuk menerima IUP batu bara dari pemerintah nantinya.
Ihsan menyampaikan kabar itu saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk 'Polemik Pemberian Izin Pengelolaan Tambang Kepada Ormas Keagamaan' di Ruang Rapat Komisi IX DPR Gedung Nusantara I Senayan Jakarta pada Rabu (26/6).
"Kalau memang tambang menjadi suatu kebutuhan dan dianggap oleh Muhammadiyah menjadi bagian yang mampu dilakukan, pasti Muhammadiyah akan kerjakan," kata Ihsan.
Pemberian IUP batu bara kepada ormas keagamaan merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam aturan terbaru ini, terdapat 17 pasal yang diubah dan ditambahkan. Aturan mengenai penawaran WIUPK kepada ormas keagamaan diatur dalam pasal 83A ayat 1-7.
Ormas keagamaan bakal mendapatkan wilayah pertambangan bekas pengelolaan Kaltim Prima Coal (KPC), Adaro Energy, Indika Energy, Kendilo Coal Indonesia, Kideco, Multi Harapan Utama, dan Arutmin Indonesia.
Lahan bekas PKP2B yang ditawarkan secara prioritas kepada ormas ini paling tidak mengandung batu bara dengan kalori di atas 4.000/GAR. Batu bara dengan kalori tinggi itu kerap digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), industri semen, baja, dan pengolahan logam.
Lebih jauh, kajian itu juga telah memproyeksikan penggunaan dana hasil pertambangan untuk kepentingan umum seperti pembiayaan 173 perguruan tinggi, 19 ribu sekolah dan 300 rumah sakit yang berada di bawah naungan Muhammadiyah.
Selain itu, benefit pengelolaan tambang nantinya juga akan dialirkan untuk tata kelola Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. BPRS biasanya melayani masyarakat di daerah-daerah tertentu, dengan fokus pada sektor mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Jadi artinya, kalau memang ada dana masuk bukan dari sumbangan, tapi adalah hasil yang produktif mungkin akan digunakan untuk kemaslahatan Muhammadiyah. Amal usaha, sekolah, rumah sakit, semua untuk itu. Karena di Muhammadiyah semua aset milik organisasi, bukan milik pribadi," ujar Ihsan.
Meski telah menyusun kajian mengenai profit pengelolaan tambang, Ihsan menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak akan mengajukan proposal kepada pemerintah untuk mendapatkan IUP batu bara.
"Posisi kami saat ini pasif, kami sebagai objek yang kemudian subjeknya adalah pemerintah yang memberikan kepada organisasi masyarakat. Jika Muhammadiyah membutuhkan, kami akan terima," kata Ihsan.
Ihsan mengaskan bahwa Muhammadiyah tidak pernah menolak wacana pemerintah untuk memberi hak pengelolaan IUP batu bara kepada ormas kegamaan. Dia mengatakan, sikap resmi Muhammadiyah hanya berasal dari pernyataan yang disuarakan oleh Ketua Umum Prof Haedar Nashir.
"Belum pernah Muhammadiyah menolak karena kami belum pernah menyatakan sikap apapun. Jika ada yang menolak itu bukan pernyataan Muhammadiyah, itu personal orang yang menyampaikan," ujar Anggota Lembaga Amil, Zakat, Infaq dan Shadaqah (Lazismu) PP Muhammadiyah tersebut.