Pemerintah akan Rilis BBM Rendah Sulfur, Pertamina: Masih Disiapkan

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Petugas bersiap melakukan pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax Green 95 saat peluncuran BBM tersebut di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Penulis: Mela Syaharani
17/7/2024, 16.11 WIB

PT Pertamina (Persero) menegaskan pihaknya telah mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk menyediakan bahan bakar minyak (BBM) rendah sulfur.

“Sudah mendapat penugasan. Namun saat ini masih proses untuk disiapkan,” kata Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso kepada Katadata.co.id pada Rabu (17/7), tanpa memerinci kapan penugasan tersebut diterima.

Saat ini Pertamina telah memiliki Pertamax Green 95 yang merupakan campuran Pertamax dengan bioetanol. Sampai dengan akhir Juni, BBM ini telah didistribusikan di 90 SPBU di empat wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek, lalu Banten, Surabaya, Gresik, dan Malang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa BBM rendah sulfur ini merupakan salah satu cara untuk memenuhi standar emisi gas buang bagi kendaraan bermotor atau Euro 4.

Namun dia menegaskan rilis dari BBM rendah sulfur ini bukan pada 17 Agustus seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu.

Ketika itu Luhut mengatakan bahwa pemerintah berencana untuk mendorong alternatif pengganti bensin melalui bioetanol. Luhut meyakini bahwa penggunaan bioetanol mampu mengurangi kadar polusi udara.

“Karena sulfurnya ini kan sampai 500 ppm ya, kami ingin sulfurnya itu 50 ppm. Dari situ bisa menghemat pemberian subsidi yang tidak pada tempatnya,” ujarnya.

Karena tingkat sulfur yang dimiliki bahan bakar alternatif ini juga tergolong rendah, maka diharapkan dapat mengurangi orang yang sakit ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut).

Apabila Indonesia berhasil mengurangi kadar sulfur melalui penggunaan bioetanol, maka jumlah penderita ISPA bisa ditekan dan pembayaran BPJS untuk penyakit tersebut bisa menghemat APBN.

“Itu bisa menghemat sampai Rp 38 triliun,” ucap dia. Luhut mengingatkan defisit APBN 2024 diproyeksi akan lebih besar dari target yang telah ditetapkan. Defisit APBN menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas keuangan dan keseimbangan anggaran negara.

Reporter: Mela Syaharani