Legalitas hingga Replanting, Setumpuk Masalah Petani Sawit Kalbar

Katadata
Penulis: Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
12/12/2019, 10.11 WIB

“Dulu produksi di kebun saya hanya satu ton per kavling. Tapi setelah mendapat pelatihan, kami bisa menaikkan produksi hingga 2,5 ton per kavling per panen. Hasil ini sangat kami banggakan,” kata petani sawit lainnya, Linang.

Kepastian Harga dan Replanting

Masalah harga  sawit yang menurun sementara biaya operasional tinggi juga menjadi makanan sehari-hari para petani. Mereka mengeluh hasil berkebun sawit tidak lagi menguntungkan seperti dulu. “Pengeluaran kita besar, tapi penghasilannya sedikit. Posisi kami jadi sulit karena tetap mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja dan pupuk. Harga yang rendah membuat usaha kami susah berkembang,” ujar Santik.

Persoalan harga menjadi momok bagi para petani rakyat. Selama ini mereka yang menjual sawit ke perusahaan dianggap ‘pihak ketiga’. Kondisi tersebut membuat posisi petani swadaya lebih lemah karena harga dan persyaratan kelayakan TBS ditentukan oleh perusahaan, bukan mengacu pada peraturan pemerintah.

Penetapan standar harga oleh perusahaan ini membuka celah bagi para tengkulak. Hasil sawit yang dianggap tidak memenuhi standar jual ke perusahaan akhirnya dijual petani ke tengkulak melalui ramp atau tempat penimbangan dengan harga yang lebih murah dari harga perusahaan maupun harga pemerintah.

Penelusuran Katadata  mendapati fenomena ramp banyak ditemui di sepanjang jalan Kabupaten Sanggau dan Sintang. Valens menjelaskan, banyaknya ramp ini mengindikasikan tata niaga TBS di tingkat petani butuh diperbaiki agar petani mendapat harga yang lebih adil.

Terakhir, persoalan replanting. Kalimantan Barat masuk dalam target replanting pemerintah karena memiliki perkebunan sawit yang luas. Dilansir dari Antara, pada 2018 Kalimantan Barat mendapat alokasi peremajaan sawit seluas 19.221 hektare dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).

Meski demikian, petani swadaya mempertanyakan kejelasan dana replanting tersebut. Selain itu, persyaratan administrasi juga mempersulit petani untuk mengajukan replanting. Proses peremajaan sawit ini masih terkendala kelengkapan dokumen pendukung seperti rencana anggaran, surat keterangan, hingga status lahan.

Realisasi peremajaan sawit rakyat (PSR) di tingkat nasional memang masih di bawah target. Program PSR sudah mulai dikerjakan pada 2017 dengan target 20.780 hektare di tujuh provinsi. Realisasi yang tercapai seluas 14.796 hektare atau sebesar 71,2 persen. Pada 2018, target ditambah menjadi 185.000 hektare di 16 provinsi. Namun realisasinya hanya 33.842 hektare atau 18,3 persen.

Pada 2019, target peremajaan kebun sawit yang ingin dicapai seluas 200.000 hektare di 21 provinsi. Namun per 25 Juni 2019, realisasinya baru mencapai 20.379 hektare atau sebesar 10,2 persen. Masalah teknis birokrasi adalah salah satu penghambat utama. Oleh sebab itu, Direktorat Jenderal Perkebunan berupaya memenuhi target penyaluran replanting melalui penyederhanaan persyaratan.

Halaman: