Pemerintah Tiongkok dikabarkan tengah mendorong perusahaan industri baja milik negara untuk dikonsolidasi, baik melalui proses merger maupun akuisisi. Konsolidasi itu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, menurut Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, badan perencanaan ekonomi makro Tiongkok.
Mengutip laman South China Morning Post (SMCP), pada 2020, Beijing mengingkan sepuluh produsen baja di negaranya berkontribusi sebanyak 60% terhadap total kapasitas industri baja domestik.
Adapun pada 2018, sepuluh perusahaan baja tersebut melaporkan hasil produksi gabungan mencapai 340 juta ton, atau mencakup 36,5% terhadap total kapasitas industri baja Tiongkok.
"Ke depan, pemerintah akan mendorong merger dan akuisisi di industri untuk mempercepat laju konsolidasi," kata Wei Yingsong, analis konsultan industri Mysteel.
(Baca: Bertemu Xi Jinping, Luhut Minta Tiongkok Hapus Bea Masuk Produk Baja)
Pembuat kebijakan ekonomi Negeri Panda itu menyakini, dalam skala bisnis penggabungan raksasa baja berkapasitas besar dapat secara efektif membantu menumbuhkan industri manufaktur negara tersebut.
Pasalnya, baja merupakan salah satu industri tulang punggung Tiongkok. Pertumbuhan sektor itu sebelumnya didorong oleh investasi besar-besaran dalam proyek infrastruktur dan real estate pada awal 1990-an dan 2015.
Pada 2016, Tiongkok mulai menutup pabrik baja kecil dan tidak efisien, untuk memotong pasokan yang berlebih dan mengurangi polusi. Adapun sebagian besar perusahaan itu merupakan milik negara.
Tiongkok mengurangi sekitar 150 juta ton kapasitas berlebih antara 2016 dan 2018. Dengan kapasitas yang lebih kecil, persaingan di antara perusahaan-perusahaan baja berkurang dan meningkatkan harga baja serta meningkatkan laba.
Kini, Tiongkok sedang dalam perjalanan menciptakan produsen baja terbesar di dunia, setelah sebelumnya menggabungkan dua raksasa baja milik pemerintah sebagai cara meningkatkan efisiensi industrinya.
Adalah China Baowu Steel Group yang berpusat di Shanghai, diperkirakan bakal memproduksi 100 juta ton baja mentah dalam satu atau dua tahun mendatang setelah mengakuisisi 51% saham pengendali di Magang Group Holding yang berbasis di provinsi Anhui.
"Konsolidasi perusahaan baja mencerminkan keputusan Tiongkok untuk mendirikan raksasa industri agar dapat bersaing di pasar global. Setelah merger, entitas yang baru dibentuk itu akan memiliki lebih banyak aset dan kekuatan untuk memperluas hasil produksi setelah menyesuaikan lini produknya," kata Gao Shen, seorang analis independen yang berbasis di Shanghai yang juga merupakan ahli di sektor manufaktur.
(Baca: RI Selidiki Dugaan Dumping Impor Baja Cold Rolled Malaysia & Tiongkok)
Baowu Steel, yang didirikan pada 2016 ini merupakan perusahaan merger antara Baosteel Group dan Wuhan Iron & Steel. Baowumerupakan produsen baja mentah terbesar kedua di dunia, mengikuti ArcelorMittal Eropa.
Tahun lalu, ArcelorMittal membukukan produksi baja sebesar 92,5 juta ton. Sedangkan produksi baja Baowu setelah merger pada 2018 lalu mencapai 86,7 juta ton.
Setelah mengambil alih saham pengendali di Magang Holding Group, raksasa baja yang berbasis di Shanghai itu berencana untuk meningkatkan kapasitas tahunannya menjadi 100 juta ton pada 2021.
Konsolidasi pabrik baja milik negara akan membuat Beijing lebih mudah mengendalikan produksi baja ke depan. Beijing juga berencana untuk menggabungkan dua produsen kapal terbesarnya, yakni China State Shipbuilding Corporation dan China Shipbuilding Industry Corporation, untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam industri pembuatan kapal global.
(Baca: Pasar Baja Melemah, Penjualan Gunung Raja Paksi Turun 15% Semester I)
Kamar Dagang Uni Eropa dalam sebuah laporan menyatakan bahwa upaya Beijing memperkuat ekonomi negaranya telah menekan bisnis perusahaan Eropa dan mengabaikan standar tata kelola ekonomi global.
"Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan-perusahaan Eropa di Tiongkok adalah kelanjutan dari rezim hukum yang membedakan perusahaan dengan kepemilikan dan lebih memilih milik negara daripada swasta dan lokal daripada asing," tulis laporan itu.
Di Indonesia, produk baja impor masih cukup banyak membanjiri pasar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor besi dan baja sepanjang 2018 meningkat 28,31% dibanding tahun sebelumnya dan berkontribusi sebesar 6,45% dari total impor nonmigas nasional seperti yang digambarkan dalam databoks berikut.