Usulan Bank Dunia Dinilai Berisiko bagi Industri Baja Nasional

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Petugas beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019). Kementerian Perindustrian mendorong percepatan pembangunan klaster industri baja Nasional di Cilegon dan Banten untuk memacu peningkatan target produksi sebanyak 10 ton baja pada tahun 2025.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
10/10/2019, 20.41 WIB

Laporan Bank Dunia 'Global Economic Risk and Implications for Indonesia' sebelumnya menyebutkan, Indonesia diusulkan agar terhubung dalam rantai pasok global, guna mengantisipasi risiko pelemahan ekonomi dunia. 

(Baca: Pemerintah Mulai Selidiki Anti-Dumping Baja Lapis Tiongkok-Vietnam )

Usulan tersebut di antaranya seperti menghilangkan surat rekomendasi/pertek untuk impor barang modal industri, menghilangkan pemeriksaan dan pengawasan di pelabuhan muat (pre-shipment inspections), menghilangkan kewajiban penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta menghilangkan tarif impor untuk impor barang modal industri.

Selain itu, penghapusan pre-shipment inspections  dengan alasan mengurangi waktu pengemasan barang impor (dwelling time) dinilai tidak masuk akal. Padahal, pre-shipment inspection dibutuhkan untuk memastikan produk baja impor sesuai dengan izin dan penggunaannya.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor besi dan baja periode Januari-Agustus 2019 menempati posisi terbesar ketiga terhadap total impor non migas Indonesia, dengan kontribusi sebesar 6,9% terhadap dari keseluruhan impor.

Nilanya mencapai US$ 6,73 miliar atau naik 5,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika