Kenaikan Tarif Impor Susu Eropa Dikhawatirkan Picu Perang Dagang

Katadata
Ilustrasi susu. Pemerintah berencana menaikkan tarif impor produk olahan susu dari Uni Eropa menjadi 25% sebagai balasan terhadap diskriminasi produk sawit Indonesia.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Agustiyanti
12/8/2019, 16.09 WIB

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai rencana pemerintah mengenakan tarif pada produk susu olahan dari Uni Eropa dapat memicu langkah balasan dan perang dagang. Menurut dia, pemerintah semestinya tidak menaikkan tarif pada produk Uni Eropa sebagai retaliasi terhadap bea masuk anti subsidi biodiesel Indonesia.

“Ini tindakan salah, cenderung brutal,” kata dia kepada katadata.co.id, Senin (12/8).

Menurutnya, Uni Eropa dapat dengan mudah melakukan pembalasan dengan mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dengan Indonesia. Uni Eropa dapat mengevaluasi fasilitas tersebut pada kapan saja tanpa dikenakan sanksi.

Meski bukan mitra dagang utama, Fithra juga menilai Uni Eropa dapat menjadi pasar alternatif di tengah perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Potensinya juga belum dimanfaatkan oleh Indonesia.

Ia juga menilai potensi kerja sama tak hanya sebatas ekspor. Pasalnya, Uni Eropa juga memiliki potensi sebagai jaringan rantai produksi global dan peningkatan investasi. Di sisi lain, Indonesia saat ini bahkan tengah menjajaki kerja sama Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (UE-CEPA) dalam bidang perdagangan hingga ketenagakerjaan.

“Dengan (upaya pembalasan) ini, akan mengacaukan diskusi kerja sama itu,” kata dia.

Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia sebaiknya fokus pada pengembangan pasar ekspor ke Uni Eropa melalui produk lainnya, ketimbang memberikan balasan atas pembatasan CPO. 

(Baca: Balas Serangan Biodisel Eropa, Mendag Usul Pengenaan Tarif 25% Susu )

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai pemerintah tak boleh gegabah dalam membalas kebijakan bea masuk anti subsidi atas biodiesel dari Uni Eropa. Ia juga khawatir kebijakan pemerintah membalas Uni Eropa dengan tarif pada impor susu olahan justru dapat memicu perang dagang yang tak mengutungkan kedua belah pihak.

“Ini dapat mencederai pertumbuhan industri dalam negeri,” kata dia kepada katadata.co.id.

Menurut dia, pemerintah juga harus melihat kondisi pasokan dan permintaan produk olahan susu di dalam negeri. Sebab, menurut Shinta, banyak industri yang membutuhkan impor olahan susu lantaran produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan per tahun. Apalagi, produk olahan susu dibutuhkan industri makanan dan minuman yang berorientasi ekspor

“Jadi hal ini akan berpotensi menganggu industri makanan dan minuman serta industri hilir lain yg menggunakan susu sebagai input produksi,” kata dia. 

Ia juga khawatir kebijakan tarif tersebut justru menurunkan daya saing industri makanan dan minuman di dalam negeri. Pasalnya, hal tersebut dapat menimbulkan gangguan pada rantai pasokan makanan dan minuman industri tersebut. 

(Baca: Ekonomi 2020 dan Bayang-Bayang Resesi Akibat Perang Dagang)

Tak hanya itu, menurut dia, dapat terjadi efek domino dari kebijakan tarif itu, yakni perlambatan pertumbuhan industri, dan perlambatan investasi di sektor tersebut.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengusulkan untuk mengenakan tarif  produk olahan susu (dairy products ) Uni Eropa sebesar 20-25% untuk merespons tindakan Uni Eropa. 

"Kami segera kirim tim tarif, tapi liat perkembangannya dulu. Saya bilang, 20-25% (tarifnya)," kata dia.

Tak hanya itu, Enggar juga meminta importir produk susu olahan  untuk mencari pemasok selain Eropa., seperti Australia, India, New Zealand, atau Amerika Serikat. 

Menurutnya, pengenaan tarif tidak akan langsung dilakukan dalam waktu dekat agar tidak menimbulkan kekagetan bagi importir. Kendati demikian, ia mengaku rencana itu telah dibicarakan dengan para importir agar bisa melakukan persiapan. 

Reporter: Rizky Alika