Ekspor minyak sawit dan turunannya yang mencakup CPO, biodiesel dan oleochemical sepanjang semester I 2019 tumbuh 10% menjadi 16,8 juta ton dari semester I tahun sebelumnya 15,30 juta ton. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan, ekspor minyak sawit tak dapat tumbuh optimal kerena diadang gejolak ekonomi global dan hambatan dagang negara mitra.
"Kenaikan volume ekspor ini seharusnya masih bisa digenjot lebih tinggi lagi, akan tetapi karena beberapa hambatan perdagangan membuat kinerja ekspor tidak maksimal," kata Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono lewat keterangan resmi, Rabu (7/8).
(Baca: Uni Eropa Diskriminatif, Pemerintah Cari Pasar Ekspor Sawit ke Afrika)
Sementara itu khusus ekspor produk CPO (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical), pada semester I 2019 hanya mampu tumbuh 7,6% atau menjadi 15,24 juta ton, dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 14,16 juta ton.
Ekspor CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 mengalami penurunan hampir di semua negara tujuan utama, terkecuali Tiongkok.
Mengutip data Gapki, ekspor CPO ke Negeri Tirai Bambu tumbuh sebesar 39% menjadi 2,54 juta ton. Meningkatnya permintaan Tiongkok, merupakan salah satu efek perang dagang dengan AS. Yang mana, negara ini mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan kebutuhan mereka dengan minyak sawit.
(Baca: Diminta Balas Uni Eropa Soal Sawit, Menko Darmin: Itu Langkah Susulan)
Di sisi lain, volume ekspor CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 ke Uni Eropa mengalami stagnasi dengan kenaikan yang hanya 0,7% menjadi 2,41 juta ton dari yang sebelumnya 2,39 juta ton.
Sedangkan volume ekspor CPO ke India tersungkur 17% atau dari 2,5 juta ton menjadi 2,1 juta ton per semester I 2019. Penurunan juga diikuti oleh Amerika Serikat 12%, Pakistan 10% dan Bangladesh 19%.
Dinamika Pasar Sawit Global
Mukti mengatakan, industri minyak sawit Indonesia terus menghadapi tantangan global yang berat sepanjang tahun ini. Salah satunya, terkait ketidakpastian pasar minyak nabati dunia.
Permintaan dari pasar ekspor tidak meningkat signifikan, sehingga harga minyak sawit mentah (CPO) tetap bergerak pada kisaran harga yang rendah. Di sisi lain, pertumbuhan serapan pasar minyak sawit di dalam negeri juga belum terlalu optimal.
Sehingga, laju ekspor minyak sawit Indonesia relatif tertahan dan tak dapat tumbuh maksimal karena ada beberapa dinamika. Belum lagi di negara tujuan utama ekspor Indonesia seperti India dan Uni Eropa, produk sawit Indonesia masih menjumpai hambatan dagang. Sementara di Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), pasar minyak nabati terdampak perang dagang.
(Baca: Pemerintah Tetapkan Badan Penyalur B30 pada Akhir Tahun Ini)
Di India, Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia khususnya untuk refined products, karena Negeri Jiran hanya dikenai tarif bea refined products sebesar 45% dari dari tarif berlaku 54%. Sedangkan Indonesia, bea masuk refined products yang dikenakan lebih tinggi dengan selisih 9%. Hal ini menyebabkan daya siang produk sawit Indonesia tidak kompetitif.
Isu lain juga datang dari Uni Eropa. Dengan menggaungkan kebijakan RED II ILUC dan tuduhan subsidi biodiesel ke Indonesia, sedikit banyak ikut mempengaruhi ekspor Indonesia ke Benua Biru .
Sepanjang semester pertama 2019, harga CPO global bergerak di kisaran US$ 492,5 -US$ 567,5 per metrik ton dengan harga rata-rata di kisaran US$ 501,5- US$ 556,5 per metrik ton.