Tensi perang dagang diperkirakan masih berlanjut pada tahun ini. Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, perang dagang dapat memberikan dampak pada pelebaran neraca dagang Indonesia.
"Walau kemarin triwulan pertama (defisit neraca dagang) hanya US$ 190 juta, tapi bisa lebih besar kalau lihat volume perdagangan global," kata dia dalam Diskusi Outlook Danareksa di Jakarta, Rabu (24/4).
(Baca: Ekonom Menilai Dua Bulan Neraca Dagang Surplus Capaian yang Semu)
Ia pun mengatakan, dampak dari perang dagang cukup dalam serta tidak kondusif bagi Indonesia untuk mendorong ekspor. Sebab, ekspor dan perdagangan dunia mengalami perlambatan yang jauh. Terlebih lagi, pemerintah juga masih menghadapi perselisihan dengan Uni Eropa mengenai kelapa sawit sehingga dapat menghambat ekspor.
Meski pertumbuhan ekspor menghadapi tantangan, Susi memastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan terganggu. Optimisme ini seiring dengan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di 5,2%.
(Baca: Genjot Kerja Sama Dagang, Kemendag Naikkan Target Ekspor Jadi 8%)
Namun, pemerintah tetap menyiapkan langkah antisipasi melalui beberapa kebijakan. Salah satunya, meningkatkan ekspor ke berbagai negara. Pemerintah juga akan menekan impor dengan upaya subtitusi. Impor bahan baku, penolong, dan modal memberikan sumbangan sebanyak 92% dari total impor.
Di sisi lain, pemerintah akan menjaga pertumbuhan ekonomi stabil di tengah perlambatan ekonomi global. Caranya dengan memanfaatkan momentum bonus demografi untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Selain itu, defisit transaksi berjalan akan terus ditekan sehingga invesatasi dapat meningkat unutk mendorong pertumbuhan ekonomi.
(Baca: Pemerintah Perluas Pasar Ekspor ke Amerika Latin)
Pariwisata Jadi Andalan
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengatakan, sependapat dengan situasi global yang terjadi sekarang. Perang dagang menjadi tantangan bagi Indonesia. Sebab, hal tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya permintaan dunia yang sedang stagnan akibat daya beli menurun.
Namun, perang dagang juga memberikan harapan bagi Indonesia. "Tahun 2019, ekspor tekstil kita meningkat 20% karena perang tarif, sehingga barang kita jadi kompetitif," ujarnya.
(Baca: Target Devisa Pariwisata Rp 249 Triliun, BI Yakin Defisit Dagang Turun)
Di satu sisi, banyak perusahaan yang melakukan relokasi ke negara berkembang lainnya, seperti Thailand dan Vietnam. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki kebijakan yang mendukung dunia usaha agar perang dagang dapat menjadi momentum masuknya perusahaan asing ke Indonesia.
Selain itu, pemerintah dinilai perlu membangun industri manufaktur. Selama ini, industri manufaktur masih mengalami deindustrialisasi. Pembenahannya perlu diiringi dengan peningkatan sektor pariwisata sehingga pertumbuhan ekonomi tetap sehat di tengah ancaman perang dagang. "Pariwisata itu diperkirakan jadi ujung tombak dan nomor satu penyumbang penerimaan," ujarnya.