Ekonom Chatib Basri memperkirakan neraca perdagangan dalam negeri pada Fabruari 2019 akan kembali mencatatkan defisit antara US$ 700 juta atau sekitar Rp 9,9 triliun hingga US$ 800 juta atau sekitar Rp 11,4 triliun dengan perhitungan kurs saat ini.
Kendati masih defisit, perkiraannya neraca perdagangan pada Februari masih lebih baik dibandingkan posisi Januari 2019 yang tercatat minus US$ 1,16 miliar atau sekitar Rp 16,2 miliar (asumsi nilai tukar Rp 14.000 per dolar). Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan kinerja neraca perdagangan pada Jumat (15/3).
"Kalau lihat neraca perdagangan masih mengalami defisit bulan ini," kata Chatib ketika ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (14/3).
Chatib menilai, defisit neraca perdagangan pada bulan lalu terjadi lantaran Indonesia masih membutuhkan barang impor untuk memenuhi bahan baku dan barang modal yang akan dipakai untuk produksi dalam negeri. Menurutnya, sekitar 90% bahan baku dan barang modal, masih harus didatangkan dengan cara impor.
(Baca: Ekonomi Global Melambat, Neraca Dagang Januari 2019 Defisit US$ 1,16 M)
Sehingga, lanjut Chatib, jika impor sampai dilarang maka akan menyebabkan tidak ada mesin-mesin di pabrik dan tidak akan berproduksi. Sehingga masih dibutuhkan waktu untuk menjadikan neraca dagang kembali surplus.
Menurut Chatib bebeberapa tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam membalikkan neraca dagang menjadi surplus adalah harga-harga komoditas yang masih bergejolak dan perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Karenanya, tahun ini masih akan sulit untuk membuat transaksi berjalan berada di level 2,5% terhadap produk dometik bruto (PDB).
Dia mengatakan, harga komoditas bisa berpengaruh seperti harga minyak yang membaik dan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) membaik. "Jadi memang akan sangat tergantung dari apa yang terjadi sama Tiongkok dan harga-harga komoditas. Tidak mudah bicara defisit neraca dagang yang jauh lebih rendah," kata Chatib.
Namun, Chatib menganggap defisit neraca transaksi berjalan masih wajar karena Indonesia masih pada tahap awal pembangunan yang membuat impor bahan baku dan bahan modal tinggi. Namun, yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, menurutnya adalah bagaimana menjaga agar nilai tukar rupiah stabil meski terjadi defisit neraca dagang.
(Baca juga: Kumpulkan Mantan Menteri, Mendag Bahas Defisit Dagang)
Salah satu yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan menerapkan reverse tobin tax. Dengan adanya insentif tersebut, pemerintah bisa melakukan upaya untuk menahan dana asing untuk tidak keluar dari dalam negeri. Dengan insentif tersebut, dia memperkirakan Indonesia mampu menyelamatkan dana hingga US$ 16,1 miliar tanpa menggangu impor barang modal.
"Pemerintah sedang pertimbangkan ini, yang paling besar dampaknya nanti ke pasar modal. Karena ini yang membuat pasar modal, obligasi begitu gampang bergejolak," kata Mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.