Menko Darmin Beberkan Strategi Pemerintah Gairahkan Ekspor

KATADATA | Arief Kamaludin
Editor: Ekarina
13/3/2019, 11.43 WIB

Pemerintah terus berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, salah satunya melalui ekspor. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan untuk menggairkan kinerja ekspor, pihaknya telah menyiapkan kebijakan jangka pendek dan menengah panjang.

Untuk kebijakan jangka pendek, langkahnya melalui perbaikan iklim usaha dengan sistem Online Single Submission (OSS), fasilitas insentif perpajakan, dan pengembangan program vokasi. Selain itu, pemerintah akan menyederhanakan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor dan memilih komoditas sektor-sektor unggulan. “Ada lima komoditas unggulan yang diprioritaskan,” kata Darmin, Jakarta, Selasa (12/3).

(Baca: Ekspor Melambat, Neraca Dagang Kuartal I 2019 Diramal Defisit US$ 3 M)

Lima komoditas unggulan yang berorientasi ekspor di antaranya industri makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, elektronika, otomotif, dan kimia. Sementara sektor non prioritas meliputi industri perikanan, permesinan umum, dan lainnya (produk, kayu, karet, furniture).

Darmin mengatakan kebijakan jangka pendek peningkatan ekspor juga fokus mengurangi biaya dan simplikasi prosedural ekspor, serta diplomasi ekonomi dan peningkatan akses pasar. Misalnya, simplikasi prosedural untuk menekan biaya dan waktu telah dilakukan dengan mengurangi komoditi yang wajib menyertakan laporan surveyor. Juga,  mengurangi barang larangan dan atau pembatasan ekspor lainnya, serta memfasilitasi penerbitan certificate of origin/SKA sehingga tidak perlu legalisasi dari Kementerian Luar Negeri.

(Baca: Darmin Nilai Defisit Dagang RI Membengkak karena Pelemahan Tiongkok)

Untuk diplomasi ekonomi dan peningkatan akses pasar, pemerintah akan melakukan negosiasi pengenaan tarif preferensi kawasan perdagangan bebas atau free trade agreements (FTA). Diikuti dengan peningkatan akses pasar ekspor, penguatan market intelegence di luar negeri, dan penyelesaian sengketa dagang. “Sepanjang 2014-2018 saja, ada 8 sengketa dagang melibatkan Indonesia,” kata Darmin.

Sementara itu, kebijakan ekspor jangka menengah panjang mengarah kepada pembangunan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Selain terkait upaya pertumbuhan ekonomi, pemerintah akan menjaga daya beli masyarakat melalui pengendalian inflasi dan penyaluran bantuan sosial tepat waktu. Kemudian, melanjutkan reformasi guna mendukung suasana kondusif untuk investasi serta memperluas pasar ekspor.

Dengan beragam kebijakan tersebut, dia berharap kinerja ekspor meningkat sehingga mampu menekan  defisit neraca perdagangan. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan sepanjang 2018 mengalami defisit sebesar US$ 8,57 miliar. Rapor merah transaksi perdagangan sekaligus menjadi rekor defisit terbesar sepanjang sejarah, sejak Indonesia merdeka.

(Baca: Neraca Dagang Surplus, Sri Mulyani Sebut Impor RI Masih Tinggi)

Kepala BPS mengatakan torehan tersebut merupakan defisit neraca perdagangan terbesar sejak tahun 1945. "Kita perlu berupaya lagi tetapi banyak tantangan karena prediksi perdagangan yang cukup sulit," kata Suhariyanto di Jakarta, Selasa (15/1).

Dia mengatakan, sempat terjadi defisit pada 1945 sampai 1975, meski nilainya tidak terlalu besar dengan capaian tertinggi pada 1975 sekitar US$ 391 juta. Kemudian sejarah defisit perdagangan terbesar lainnya juga terjadi pada 2012 dengan nilai US$ 1,7 miliar dan diikuti tahun berikutnya menjadi sebesar US$ 4,08 miliar pada 2013.

Reporter: Rizka Gusti Anggraini