Sulitnya milenial untuk membeli rumah telah menjadi rahasia umum. Bank Indonesia (BI) dan pengembang mencoba beragam cara, termasuk mengurangi besaran uang muka (Down Payment/DP) untuk menarik minat milenial membeli properti. Namun, hal itu belum efektif.
Pertumbuhan penjualan properti tetap melambat dari 3,7% di 2017 menjadi 3,4% per Kuartal III-2018. Maka, beberapa pihak menduga, persoalannya terletak pada gaya hidup milenial.
Country General Manager Rumah123.com Ignatius Untung menyatakan, banyaknya dana yang dihabiskan oleh milenial untuk berwisata membuat mereka kesulitan membeli rumah. "Jadi, saat menjual properti, kompetitornya bukan lagi pengembang lain, tapi Traveloka, Tiket.com, dan lainnya yang terkait travelling," ujarnya saat Properti Outlook 2019 di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis (24/1).
(Baca: Milenial Paling Banyak Beli Rumah Seharga Rp 500 Juta)
Menurut dia, milenial harus mengurangi biaya untuk gaya hidup termasuk travelling, ke kafe, atau berbelanja pakaian agar bisa membeli rumah. "Milenial harus disiplin menabung. Saya saran 30% (dari pendapatan) untuk DP. Jadi mereka terbiasa lagi untuk bayar cicilan 30% setiap bulan," ujarnya.
Senada dengannya, Financial Trainer and Founder QM Financial Ligwina Hananto mengatakan, bahwa milenial harus mencoba lebih keras untuk menabung. "Tapi kemampuan menabung milenial itu biasanya 5% (dari pendapatan). Jadi punya program nol persen tidak menolong," kata dia.
Padahal, menurutnya rumah adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi lebih dulu. "Banyak pasangan muda buat rencana keuangan untuk pendidikan anak dan lain-lain, tapi rumah belum. Fokus rumah saja dulu karena tidak hanya DP, tapi juga cicilan," ujarnya.
(Baca: Selera Milenial, Beli Rumah pun Harus Instagramable)
Dari sisi pengusaha, menurut dia pengembang harus memahami keinginan milenial di bidang properti. Dulu bauran pemasaran yang dikenal adalah produk (product), harga (price), distribusi (place) dan promosi (promotion).
Kini, menurut dia elemen pemasaran itu harus ditambah dengan pengalaman (experience), keterikatan (enggament), eksklusivitas, dan emosional (emotion). "Kalau mau promosi, tidak bisa bicara tentang (perusahaan) sendiri. Tapi apa yang mereka (milenial) bisa dapat," ujarnya.