Padahal, kedua negara yang tengah melakukan gencatan senjata dalam perang dagang hingga Maret 2019 itu merupakan pangsa pasar terbesar Indonesia. BPS mencatat porsi ekspor Januari-November 2018 ke AS mencapai 10,78% dengan nilai US$ 16,19 miliar. Sedangkan ekspor Indonesia ke Tiongkok tercatat berkontribusi sebesar 15,12% senilai U$ 22,70 miliar.

(Baca: Bea Masuk Sawit India Dipangkas, Pengusaha Optimistis Ekspor Meningkat)

Bhima juga memproyeksikan ekspor Indonesia masih tertekan oleh impor untuk produksi industri manufaktur pada awal tahun. Impor minyak bumi masih akan besar karena lifting minyak dalam negeri turun. "Kuartal pertama 2019 masih akan ada defisit perdagangan US$ 1 sampai US$ 2,5 miliar," ujarnya.

Dia juga sebelumnya memperkirakan ekspor sepanjang 2019 diprediksi tumbuh 8%-9%, terutama jika tidak ada perubahan startegi yang signifikan dari pemerintah untuk mendiversifikasi pasar ekspor maupun dengan pemberian insentif. Terlebih dengan situasi perdagangan dunia yang masih diselimuti ketidakpastian. 

Sementara itu, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengatakan pengusaha telah menyusun pengembangan ekspor sejak 2016. Sehingga, harapannya pemerintah seharusnya bisa menyesuaikan rencana pengembangan itu dengan kebijakan yang tepat.

Dia juga mengatakan, industri otomotif dan tekstil sudah memiliki kapasitas untuk meningkatkan ekspor produk jadi. "Sekarang tergantung sikap pemerintah untuk memberikan insentif yang besar supaya industri memiliki kepastian produksi," kata Handito.

Halaman:
Reporter: Michael Reily