Bea Masuk Sawit India Dipangkas, Pengusaha Optimistis Ekspor Meningkat

ANTARA FOTO/Akbar Tado
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3). Menurut pedagang pengepul di daerah tersebut, harga sawit mengalami penurunan dari harga Rp1.400 menjadi Rp1.000 per kilogram akibat kualitas buah tidak terlalu bagus.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
3/1/2019, 19.41 WIB

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimistis ekspor minyak kelapa sawit (CPO) ke India dapat meningkat. Ini dikarenakan kebijakan baru peemrintah India yang berencana bea masuk untuk CPO dan turunannya untuk negara-negara Asia Tenggara.

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyatakan penurunan tarif impor untuk negara tujuan ekspor akan meningkatkan daya saing produk Indonesia. "Kami mengharapkan ekspor produk sawit ke India akan lebih baik daripada tahun lalu," kata Mukti kepada Katadata.co.id, Kamis (3/1).

(Baca: Prospek Perdagangan 2019: Dihantui Perang Dagang dan Tekanan Ekspor)

Mengutip laman Economic Times, India telah menurunkan bea masuk CPO dari Asia Tenggara yang berlaku efektif berlaku mulai 2 Januari 2019. Untuk pengiriman dari Malaysia,  tarif impor CPO turun dari 44% menjadi 40% dan produk turunannya berubah menjadi 45$ dari 54%. Sedangkan bea masuk produk turunan CPO dari Indonesia turun menjadi sebesar 50%, atau masih lebih tinggi dari Malaysia.

Untuk mendapat fasilitas penurunan bea masuk yang sama, menurutnya Indonesia masih perlu berupaya lebih keras melalui negosiasi bilateral. Ini diperlukan dalam menghadapi persaingan dengan produk sawit Malaysia.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari sampai November 2018, nilai ekspor CPO dan turunannya ke India sebesar US$ 15,2 miliar., turun sebesar 11,2% secara tahunan. Sebab, ekspor CPO dan produk turunan ke India pada Januari hingga November 2017 mencapai US$ 16,9 miliar. 

Industri sawit India, Solvent Extractors Association (SEA)  mengatakan potongan bea masuk bisa meningkatkan impor minyak sawit oleh India sekaligus merugikan petani dan produsen minyak nabati di sana. "Kami harap pemerintah India sadar dan mengambil langkah tepat untuk menyelamatkan perkebunan sawit dan pengolahan sawit," ujar Presiden SEA Atul Chaturvedi, dikutip dari Economic Times. 

(Baca juga: Permintaan Pasar Tradisional Berkurang, Ekspor Sawit Tertekan)

Menurutnya, pada 2018-2019 konsumsi minyak nabati di India dengan  impor mencapai sebesar 15,5 juta ton, yang mana 60% bahan baku berasal dari Indonesia dan Malaysia. Sisanya, berupa minyak kedelai dari Argentina dan Brazil, minyak bunga matahari dari Ukraina dan Rusia, serta minyak kanola dari Kanada.

Sementara itu sebelumnya, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Kasan mengatakan penurunan bea masuk India tidak berdampak signifikan terhadap volume impor sawit dari Malaysia. 

Namun perubahan bea masuk India bisa berdampak signifikan terhadap volume impor CPO dari Indonesia. Pihaknya telah membuat analisis regresi sederhana terkait perubahan tarif bea masuk India.

(Baca: Sisi Positif Perang Dagang, Ekspor Minyak Sawit Juli Melejit)

Setiap kenaikan tarif 1% di India akan menurunkan volume impor dari Indonesia sebesar 3958.7 ton. Sebaliknya, jika tarif turun 1% akan menaikkan ekspor sebanyak 3958.7 ton.

Penurunan tarif dari 44% menjadi 40% pada tahun 2019 akan menyebabkan kenaikan volume ekspor sebesar 190,02 ribu ton atau kenaikan nilai sebesar US$ 135 juta. "Secara statistik, tidak signifikan terhadap volume impor CPO India dari Malaysia," kata Kasan pertengahan Desember lalu.

Reporter: Michael Reily