Pemerintah memiliki sejumlah pekerjaan rumah besar untuk membenahi kinerja perdagangan, terutama dalam menekan laju impor yang terus mengalami kenaikan. Lonjakan impor telah menyebabkan neraca perdagangan Indonesia secara akumulatif periode Januari-November 2018 defisit sebesar US$ 7,52 miliar, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

BPS juga mencatat secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–November 2018 mencapai US$ 165,81 miliar atau meningkat 7,69% dibanding periode yang sama  tahun lalu. Sedangkan realisasi impor Indonesia periode Januari hingga November 2018 mencapai US$ 173,32 miliar, naik cukup signifikan sebesar 22,18%  dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

(Baca: Terdalam Sepanjang 2018, Neraca Dagang November Defisit US$ 2,05 M)

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menyatakan pemerintah seharusnya membuat kebijakan untuk lebih mendorong penggunan bahan baku dalam negeri untuk kegiatan industri berorientasi ekspor. "Karenanya perlu ada insentif pemerintah supaya pengekspor merasa lebih untung," kata Benny kepada Katadata.co.id, Rabu (19/12).

Menurutnya, instrumen pemerintah berupa Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dinilai kurang merangsang  penggunaan bahan baku lokal oleh sejumlah industri. Padahal, fasilitas KITE memberikan pembebasan atau pengembalian bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Benny  juga mengungkapkan, sebetulnya sudah banyak produk subtitusi lokal yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri berorientasi ekspor. Salah satu contohnya adalah impor garmen untuk ekspor produk tekstil ke luar negeri.

Tapi  pengusaha lebih memilih impor karena tidak perlu membayar pajak sehingga ongkos produksi lebih kompetitif. "Kalau beli garmen dari dalam negeri ada pajak yang restitusinya hanya setahun sekali," ujar Benny.

Karenanya, jika bahan baku tak tersedia dia berharap bisa dimanfaatkan pemerintah dengan cara mengundang  investor lokal maupun asing untuk berinvestasi di sektor tersebut.

Meski memerlukan waktu lama, cara ini setidaknya bisa dicoba untuk membenahi secara perlahan-lahan neraca perdagangan, terlebih dengan kontribusi impor bahan baku penolong  yang sepanjang Januari-November 2018 telah menyumbang sebesar 75,20% terhadap total impor nonmigas senilai US$ 145,5 miliar. 

Tekan Impor

Tingginya impor, menurut pandangan Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih disebabkan karena adanya kekosongan di lini industri antara yang menghubungkan antara industri hulu dan hilir. "Masalahnya struktural karena kita tidak punya industri menengah," kata Lana.

Contohnya, pada  industri alat komunikasi yang mana untuk jenis komponennya masih mengandalkan impor komponen meski pabrik perakitannya sudah tersedia di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus mendorong investasi industri komponen supaya ada nilai tambah bagi industri dalam negeri.

Selain itu, untuk menekan impor pemerintah juga diharapkan bisa mengurangi  ketergantungan bahan baku penolong separuh dari kontribusi impor saat ini. Meskipun hal ini diakui akanmenghambat proses produksi, terutama yang berorientasi ekspor.

Karenanya pemerintah dihadapkan pada dua opsi. Pertama, neraca dagang yang baik tetapi pertumbuhan ekonomi melambat atau  pertumbuhan ekonomi membaik tetapi defisit neraca dagang  tetap besar.

Dia juga menuturkan bahwa impor yang dilakukan pemerintah saat ini merupakan realisasi dari pembangunan infrastruktur. Seperti yang dilaporkan BPS,  impor November disumbang  tiga komoditas utama seperti mesin dan pesawat mekanik senilai US$ 24,7 miliar (16,99%), mesin dan peralatan listrik senilai US$ 19,65 miliar (13,51%), serta besi dan baja senilai US$ 9,12 miliar (6,27%).

Meski demikian,  pembangunan infrastruktur juga sulot ditunda dan mesti dipersiapkan, salah satu tujuannya agar investor lebih tertarik untuk masuk ke dalam industri menengah. "Sehingga sektor logistik tersedia untuk pelaku usaha dengan pembangunan pelabuhan dan bandara," ujar Lana.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Airlangga Hartarto membenarkan peningkatan impor bahan baku penolong dan barang modal merupakan alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah tetap berupaya untuk menjaga impor supaya neraca dagang lebih positif.

Optimalisasi  penggunaan bahan baku dalam negeri sudah terangkum dalam kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selain itu,pemerintah juga terus beruapa mendorong peningkatan investasi melalui skema insentif tax holiday serta kemudahan perizinan lewat Online Single Submission (OSS).

Airlangga  juga menuturkan bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan mengurangi impor barang modal untuk beberapa sektor, seperti alat kesehatan, pembangkit listrik, minyak dan gas, perhubungan, serta pekerjaan umum. "Kami akan terus  dorong supaya impornya berkurang," ujarnya.

(Baca: Permintaan Melemah, Pemerintah Siapkan Kebijakan Diversifikasi Ekspor)

Menurut dia, untuk menikmati hasil akhir investasi produksi bahan baku dalam negeri saat ini akan memerlukan waktu, karena beberapa pabrik masih dalam proses pembangunan. Contohnya seperti ground breaking pabrik petrokimia belum lama ini diresmikan.  Namun diharapkan, ke depan akan ada lebih banyak komitmen investasi  masuk ke Indonesia, khususnya pada industri olefin dari methanol, industri naphtha cracker, serta industri semen.

Kemudian yang tak kalah penting menurutnya adalah peningkatan ekspor dan akses pasar dengan menyelesaikan sejumlah perjanjian dagang. Tahun ini, Indonesia sudah melakukan penandatangan perjanjian dagang dengan European Free Trade Association (EFTA) dan Chile dan ke depan diharapkan akan ada penyelesaian terhadap perjanjian dagang lain, terutama Australia. Dengan begitu diharapkan ada peningkatan perdagangan dari hasil pembebasan bea untuk ribuan pos tarif.

(Baca: Defisit Neraca Dagang Diproyeksi Tembus US$ 9 Miliar sepanjang 2018)

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga mengungkapkan untuk memperbaiki neraca dagang pemerintah juga harus fokus pada perbaikan kinerja ekspor. Menurutnya, dampak perang dagang dan restriksi untuk ekspor produk Indonesia seharusnya bisa diakali dengan memperluas pasar nontradisional.

Jika peningkatan ekspor yang tak mengimbangi lonjakan impor, hal ini diperkirakan  bakal tetap menjadikan neraca perdagangan dalam  negeri defisit pada Desember sebesar US$ 1,5 miliar. "Tren defisit perdagangan akan berlanjut hingga Desember, sehingga total defisit akan mencapai US$ 9 miliar sepanjang tahun ini," kata Bhima.

Reporter: Michael Reily