Defisit Neraca Dagang Terburuk, Sri Mulyani dan BI Sebut Faktor Global

Biro Pers Sekretariat Presiden
Menteri Keuangan Sri Mulyani diwawancarai media usai mendampingi Presiden Jokowi bertemu para pengusaha dan eksportir nasional di Istana Bogor, Kamis (26/7)
17/12/2018, 22.12 WIB

Neraca dagang mengalami defisit sebesar US$ 2,05 miliar pada November lalu. Ini merupakan defisit yang kedelapan kalinya sekaligus yang terburuk sepanjang tahun ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Bank Indonesia (BI) menilai kondisi ini tidak lepas dari dinamika ekonomi global.

Sri Mulyani menjelaskan, ekspor komoditas ke Tiongkok terhambat lantaran perekonomian Negeri Tirai Bambu terpengaruh oleh perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Seiring kondisi Tiongkok tersebut, ekonomi global juga tertekan sehingga memengaruhi daya serapnya terhadap barang ekspor.

Ia pun menilai Indonesia perlu berhati-hati dalam mencari pasar baru untuk menopang ekspor. "Beberapa komoditas kita maupun pasar untuk mengekspor harus dilihat secara hati-hati karena Tiongkok, pertumbuhan ekonominya sedang adjustment (penyesuaian)," kata dia di kantornya, Jakara, Senin (17/12).

(Baca juga: Terdalam Sepanjang 2018, Neraca Dagang November Defisit US$ 2,05 M)

Adapun untuk menyeimbangkan neraca dagang, Sri Mulyani menjelaskan pemerintah telah mengambil kebijakan pengendalian impor. Pengendalian dilakukan dengan menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) impor 1.147 barang konsumsi. Menurut dia, dengan kebijakan tersebut, volume impor harian mengalami penurunan.

Selain itu, ia menekankan perlunya upaya mengurangi impor lewat kebijakan substitusi impor. Di bidang migas, pemerintah telah memberlakukan kewajiban pencampuran minyak sawit dalam solar sebesar 20% atau biodiesel 20%.

Senada dengan Sri Mulyani, BI memandang pemburukan neraca dagang seiring dengan permintaan global yang melambat sehingga memengaruhi kinerja ekspor. “Sementara itu, permintaan domestik masih kuat sehingga memengaruhi kinerja impor,” demikian tertulis dalam siaran pers BI, Senin (17/12).

Neraca dagang tercatat mengalami defisit US$ 2,05 miliar imbas realisasi impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor, meskipun sama-sama mengalami penurunan. Realisasi ekspor hanya sebesar US$ 14,83 miliar, sedangkan realisasi impor sebesar US$ 16,88 miliar.

(Baca: Hambatan Nontarif Masih Jadi Kendala Ekspor ke Kawasan Eropa)

BI memaparkan, ekspor nonmigas turun US$ 0,9 miliar secara bulanan, lebih dalam dibandingkan penurunan impor nonmigas yang sebesar US$ 0,71 miliar. Penurunan ekspor nonmigas terjadi pada beberapa komoditas antara lain perhiasan/permata, minyak kelapa sawit, batu bara, bubur kayu (pulp), dan mesin/peralatan listrik.

Sementara itu, ekspor migas mengalami penurunan sebesar US$ 0,17 miliar secara bulanan, lebih dalam dibandingkan penurunan impor migas yang sebesar US$ 0,08 miliar. Ekspor migas yang mengalami penurunan terutama hasil minyak, minyak mentah, dan gas.

Dengan perkembangan ini, defisit neraca dagang secara akumulatif Januari-November 2018 tercatat sebesar US$ 7,52 miliar. Meski begitu, BI tidak mengubah proyeksinya terkait defisit neraca dagang barang dan jasa (neraca transaksi berjalan).

“Bank Indonesia memprakirakan defisit neraca transaksi berjalan pada 2018 tetap berada dalam level yang aman, yakni di bawah 3% PDB,” demikian tertulis.

Reporter: Rizky Alika