Produsen Kaleng Keberatan Bea Masuk Anti-Dumping Tinplate Diperpanjang

ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Pekerja menyusun aneka jenis minuman kaleng di salah satu grosir penjual makanan dan minuman kemasan di Pekanbaru, Riau, Senin (12/6).
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
4/5/2018, 14.58 WIB

Asosiasi Produsen Kemas Kaleng Indonesia (APKKI) menyatakan keberatan terkait wacana pemerintah memperpanjang pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) periode 2019-2024 atas produk baja lapis timah (tinplate) asal Taiwan,Tiongkok, dan Korea Selatan. Hal itu dinilai memberatkan karena banyak industri masih bergantung pada bahan baku tinplate impor, seiring dengan kemampuan  produksi dalam negeri yang masih terbatas. 

Sejak 15 Januari 2014 sampai 14 Februari 2019, impor tinplate dari ketiga negara dikenakan bea masuk anti-dumping sebesar 4,4% hingga 7,9%.

Ketua Umum APKKI Halim Parta Wijaya menjelaskan Indonesia sudah menerapkan bea masuk sebesar 12,5%, sehingga tambahan bea masuk anti-dumping bakal memberatkan industri nasional. Terlebih, impor tinplate memang dibutuhkan karena permintaan industri lebih banyak daripada produksi tinplate dalam negeri.

(Baca : Industri Makanan dan Minuman Tolak Usulan Bea Masuk Bahan Baku Plastik)

APKKI mencatat, produsen tunggal tinplate, yaitu PT Pelat Timah Nusantara Tbk hanya  memiliki kapasitas  produksi 160 ribu ton per tahun. Sedangkan permintaannya mencapai 250 ribu ton per tahun. "Mau tidak mau, impor tetap diperlukan," kata Halim di Jakarta, Jumat (4/5).

Selain penghentian bea masuk anti-dumping,  pihaknya juga  meminta supaya bea masuk tinplate sebesar 12,5% diturunkan atau dihapuskan.  Asosiasi menilai pengenaan tersebut bisa menjadikan  industri kaleng kemas nasional tidak kompetitif lantaran pengenaan bea masuk tinplate Indonesia masih di atas negara-negara Asia Tenggara  yang mengenakan bea masuk maksimal 5%. 

Tingginya bea masuk tinplate sebagai bahan baku kemasan kaleng juga dinilai turut memicu masuknya  impor produk makanan dalam kemasan. "Contohnya semakin banyak ikan kaleng atau makanan kaleng langsung diimpor dari luar negeri," ujar Halim.

(Baca Juga : Bappenas Usul Bea Antidumping Untuk Atasi Serbuan Impor Baja Tiongkok)

Asosiasi mengklaim,  3  dari 12  perusahaan anggotanya sudah gulung tikar  pasca penetapan bea masuk anti-dumping.

PT Ancol Terang Metal Printing Industri  merupakan salah satu produsen kaleng kemasan yang  keberatan dengan pengenaan bea masuk anti dumping pemerintah. General Manager Perusahaan,  Arief Junaidi menuturkan bahwa saat ini perusahaan membeli bahan baku tinplate dengan harga cukup mahal. Perusahaan saat ini menyerap 20%-25% dari total kebutuhan tinplate nasional sebesar 250 ribu ton. 

"Kami tidak ingin membeli tinpate yang lebih mahal, sebab selama ini kami terpaksa," ujarnya.

Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan telah melakukan penyelidikan dan peninjauan kembali (sunset review) atas pengenaan bea masuk anti-dumping yang berasal dari Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan pada 27 Oktober 2017. Penyelidikan peninjauan kembali (sunset review)  dilakukan berdasarkan permohonan dari PT. Latinusa Tbk., yang menyatakan bahwa masih terjadi dumping dan menyebabkan adanya kerugian industri tinplate dalam negeri. 

Berdasarkan penelusuran KADI, terdapat bukti awal masih berlanjutnya praktik dumping yang berpotensi menimbulkan kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis apabila pengenaan bea masuk anti-dumping atas tinplate tidak dilanjutkan.

Katadata coba menghubungi Ketua KADI Ernawati dan Investor Relations Latinusa Wuri Wuryani terkait keberatan asosiasi, namun keduanya belum memberikan tanggapan hingga laporan ini diturunkan.