Industri manufaktur dalam negeri disinyalir tengah menggeliat. Impor bahan baku dan bahan modal sepanjang Januari 2018 tercatat melonjak masing-masing sebesar 24,76% dan 30,90% sekaligus menjadi kontributor utama terhadap realisasi impor di Januari 2018, diyakini menjadi indikator penguatan aktfitas produksi dan investasi industri dalam negeri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku cukup optimistis peningkatan angka impor yang tajam, di satu sisi merefleksikan tingginya tingkat kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri. Ia menjelaskan naiknya impor bahan baku dan barang modal menjadi indikator industri dan investasi yang sehat.
Oleh karena itu, dia meminta agar industri menjaga kemampuan dan daya saing. “Ekspor dan peningkatan capital in flow menjadi penting, supaya defisit dari impor tidak menimbulkan persepsi buruk dari luar,” jelas Sri di Jakarta, Kamis (15/2).
(Baca : Impor Migas Melonjak, Neraca Dagang Januari Defisit US$ 670 Juta)
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2018 mengalami defisit sebesar US$ 670 juta. Dalam laporannya, BPS juga mencatat nilai impor pada Januari 2018 sebesar US$ 15,13 miliar, meningkat 26,44% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 11,97 miliar.
Ditinjau dari jenis penggunaan barang, sebayak 74,58% atau sekitar US$ 11,29 miliar dari total impor Indonesia berasal dari impor bahan baku atau bahan penolong, kemudian 16,48% atau sekitar US$ 2,49 milir untuk barang modal dan 8,94% sisanya atau setara dengan US$ 1,35 miliar untuk impor barang konsumsi.
Mengkonfirmasi nilai impor tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan tingginya impor Januari lalu disebabkan oleh pembelian spare part untuk pemeliharaan barang modal. Pasalnya, industri membutuhkan perawatan alat dan mesin (overhaul) untuk melakukan kegiatan produksi.
(Baca : Ekspor Nonmigas Sokong Neraca Dagang 2017 Surplus US$ 11,84 Miliar)
Menurutnya, saat ini banyak industri sedang melakukan perawatan. “Barang modal jangan ditahan, mesin yang sudah diimpor bisa jadi tidak jalan karena tidak ada spare part,” katanya kepada Katadata.
Sementara, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita justru menuturkan defisit neraca perdagangan bulan lalu anatra lain juga disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas migas sehingga nilai impor melonjak dan menyebabkan defisit. “Defisitnya total karena migasnya berkontribusi cukup besar,” ujar Enggar.
Impor migas tercatat sebesar US$ 2,14 triliun dengan nilai ekspor sekitar US$ 1,28 triliun. Sehingga, defisit untuk migas sebesar US$ 859,5 juta. Sedangkan, neraca dagang non migas tercatat surplus sebesar US$ 182,6 juta.
Dengan tingginya trend impor, Enggar juga menyatakan bakal lebih agresif meningkatkan ekspor tahun 2018. Mendag bahkan sebelumnya telah merevisi target pertumbuhan ekspor tahun ini menjadi 11% dari target sebelumnya yang dipatok di angka sekitar 5% hingga 7%.
Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), Josua Pardede menuturkan untuk menggenjot ekspor, Indonesia harus didorong untuk mencari mitra dagang baru, di samping untuk mengantisipasi jika terjadi perlambatan pertumbuhan di salah satu negara tujuan utama.
"Indonesia seharusnya bisa mulai explore trading partner lain, mengantisipasi perlambatan manufaktur Tiongkok," ujarnya kepada Katadata, Kamis (15/2) .
Sedangkan terkait defisit neraca perdagangan Indonesia di Januari 2018, ia menuturkan bahwa defisit perdagangan secara month to month (MoM) memang sudah terlihat dari tren lanjutan sejak bulan sebelumnya.
Adapun terkait kenaikan impor bahan baku dinilainya sebagai sebuah sinyal positif untuk perekonomian Indonesia. "Itu artinya ada aktifitas produksi di dalam negeri," ujarnya.
Dengan begitu dia memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2018 mencapai US$ 10 miliar hingga US$ 11 miliar, menyusut dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan tahun lalu yang tercatat sebesar US$ 12 miliar.