Kalla dan Luhut Beda Sikap soal Kereta Cepat Jakarta-Surabaya

ANTARA FOTO/Ampelsa
Wapres Jusuf Kalla berbincangan dengan Menko Maritim Luhut Pandjaitan disaksikan Menteri Pariwisata, Arief Yahya (kanan) dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (kiri) di Pelabuhan Sabang, Aceh, Sabtu (2/12).
Editor: Yuliawati
14/12/2017, 21.11 WIB

Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berbeda dalam menyikapi rencana pembangunan kereta cepat Jakarta - Surabaya. Meski Wakil Presiden sudah memutuskan Jepang untuk menggarap proyek tersebut, Luhut malah masih membuka kemungkinan investor dan teknologi lain. 

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan pemerintah telah memutuskan menggunakan teknologi narrow gauge buatan Jepang dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya. Keputusan ini dibuat dalam rapat yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama dengan perwakilan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Duta Besar Jepang Masafumi Ishii pada Rabu (13/12).

"Iya (kesepakatan dengan Jepang), ukuran rel (narrow gauge) tidak akan ada perubahan," kata Budi usai konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (15/12).

Narrow gauge merupakan tipe rel kecil dengan lebar 1.067 milimeter. Budi mengatakan penggunaan narrow gauge akan membuat pembangunan rel simultan dengan jalur kereta Jawa Utara yang telah ada sebelumnya. "Dan anggarannya lebih terjangkau," kata dia.

(Baca: Bertemu Jepang, Jokowi Ingin Kereta Jakarta – Surabaya Lebih Kencang)

Jepang memperkirakan pendanaan akan mencapai Rp 51 triliun dengan skema pinjaman menggunakan dana APBN. Namun, mengenai besaran biaya proyek, Kalla belum menyepakati permintaaan Jepang.

"Kami minta harga turun. Wapres minta anggaran dioptimalisasi sehingga lebih rendah," kata dia.

Kesepakatan yang telah diambil Kalla ini berseberangan dengan keterangan yang diberikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. (Baca: Luhut: Jepang Belum Pasti Garap Kereta Cepat Jakarta-Surabaya)

Dalam siaran persnya, Luhut mengatakan dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada Selasa lalu, dia mengatakan pemerintah masih melakukan kajian proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya yang diperkirakan selesai pada Maret 2018.

Pemerintah akan membandingkan hasil kajian antara Korea Selatan, Jepang dan juga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Selama ini Jepang menggunakan teknologi narrow gauge, sementara Korea Selatan menggunakan teknologi standard gauge dengan lebar trek 1.435 mm.

Luhut juga mengatakan pemerintah akan mencari pilihan yang terbaik dalam menentukan pendanaan proyek tersebut. “Jadi jangan sampai nanti ada orang lain (selain Jepang) bisa mendanai lebih murah, tapi kami (tetap) ambil mereka (Jepang),” kata Luhut.

Dia juga menyatakan pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya tidak boleh membebani keuangan negara. “Jangan sampai pembengkakan utang berlebihan yang tidak jelas pengembaliannya. Indonesia sekarang tuh sudah berbeda dengan dulu, tidak bisa asal berutang saja," kata dia.

(Baca: Adu Jepang dan Korsel, Kajian Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Maret 2018)

Sebelumnya, Luhut mengatakan, dirinya memang lebih condong menggunakan teknologi standard gauge. Alasannya, teknologi ini diklaim lebih maju dibandingkan narrow gauge. Di dunia pun, hanya tinggal Indonesia, Jepang, dan Australia yang menggunakan teknologi narrow gauge.

Dengan standard gauge, kereta bisa menempuh Jakarta-Surabaya hanya dengan waktu 3,5 jam karena memiliki kecepatan 200 km/jam. Namun, biaya yang dikeluarkan dengan menggunakan teknologi tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan narrow gauge.

Sementara itu, dari hasil pra-studi kelayakan yang dilakukan Japan International Cooperation Agency (JICA), dengan menggunakan sistem narrow gauge, jarak 748 kilometer Jakarta - Surabaya akan ditempuh dalam waktu 5,5 jam dengan kecepatan rata-rata 160 kilometer.

(Baca: Kajian Kereta Semicepat Jakarta – Surabaya Akan Dievaluasi Pihak Lain)