Pemerintah Amerika Serikat (AS) berencana mencabut fasilitas preferensi bea masuk (Generalized System of Preferences/GSP) untuk tiga komoditas Indonesia. Pencabutan fasilitas GSP ini ditujukan pada tiga produk Indonesia yaitu ban mobil besar (bus dan truk), turunan sarang walet, serta asam stearat (stearic acid).
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menegaskan Pemerintah Indonesia dan para pelaku usaha tengah menyusun langkah bersama menanggapi wacana tersebut.
“Saat ini Kementerian Perdagangan bersama kementerian dan lembaga terkait serta para pelaku industri ban mobil, produk turunan sarang walet, dan asam stearat tengah menyusun submisi, atau masukan ke Pemerintah AS agar ketiga produk tersebut dapat tetap menerima GSP ke pasar AS," kata Iman, Kamis (30/11)
(Baca juga: Uni-Eropa Minta Peningkatan Standar Keberlanjutan Sawit Indonesia)
Iman menjelaskan, GSP merupakan program unilateral Pemerintah AS yang memberikan bea masuk 0% kepada sekitar 120 negara berkembang dan kurang berkembang di dunia. Total ada 5.057 produk yang mendapat fasilitas ini dengan ketentuan penerapan ambang batas.
Jika ekspor produk-produk tersebut melewati nilai tertentu, maka fasilitas bebas bea masuk itu dapat dicabut karena dianggap cukup berdaya saing. "Koordinasi penyusunan submisi diperlukan untuk mendapatkan data pendukung yang akurat serta menyusun argumentasi pentingnya ketiga produk tersebut, bukan saja bagi Indonesia tetapi juga bagi industri dan konsumen AS," kata Iman.
Pada tahun 2016, ekspor ban mobil (untuk bus dan truk) Indonesia ke AS tercatat sebesar US$ 156,8 juta. Sementara, produk turunan sarang walet US$ 9,3 juta; dan asam stereat US$ 10,6 juta. Ekspor ketiga produk tersebut meningkat dalam lima tahun terakhir, masing-masing sebesar 70,75%; 7,1%; dan 19,3%.
(Baca: BI Proyeksi Ekonomi 6,2% di 2022, Jokowi: Kita Harus Optimistis)
Menurut Iman, jika ketiga produk tersebut terbukti berdaya saing, maka hal itu positif bagi Indonesia. Artinya, produk tersebut siap berkompetisi di pasar AS tanpa preferensi. Namun, jika belum kompetitif dan dicabut preferensinya, maka menjadi tugas Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan argumen ke Pemerintah AS agar pencabutan fasilitas tersebut ditangguhkan.