Tren kenaikan harga diprediksi tak akan berpengaruh besar terhadap ekspor minyak sawit tahun ini. Sebab, permintaan di pasar dunia diprediksi stagnan.
“Ekspor kita agak konservatif. Kita tidak mau terlalu optimistik,” kata Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Togar Sitanggang di kantornya, Selasa (31/1).
Menurut Togar, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil / CPO) global telah menemukan ritmenya kembali. Pada awal 2016, harga rata-rata bulanan CPO global hanya US$ 557 per metrik ton. Namun grafik harga terus menanjak hingga pada penutupan tahun 2016 harga rata-rata telah menyentuh US$ 790 per metrik ton.
Jika ditotal, harga rata-rata CPO sepanjang tahun 2016 tercatat sebesar US$ 700 per metrik ton. Angka itu naik 14 persen dibandingkan dengan harga rata-rata tahun 2015 yang hanya mampu mencapai US$ 614 per metrik ton.
Baca juga: Harga Naik, Bea Keluar CPO Jadi US$ 18 Per Metrik Ton Bulan Depan)
Bagaimanapun, tahun ini Gapki hanya menargetkan ekspor sebesar 27 juta ton minyak sawit. Jumlah itu terdiri dari 23,5 juta ton CPO, 3 juta ton Palm Kernel Oil (PKO), 1,5 juta ton bahan kimia dan 500 ribu ton biodiesel.
Sementara, sepanjang 2016 lalu, total ekspor minyak sawit tercatat sebanyak 25,1 juta ton. Angka tersebut turun sekitar 5 persen dari ekspor pada 2015 yang mencapai 26,4 juta ton.
Secara nilai, tahun 2016 industri sawit menyumbangkan devisa sebesar US$ 18,1 miliar. Nilai ini mengalami penurunan sebesar 3 persen jika dibandingkan dengan nilai ekspor minyak sawit 2015 sebesar US$ 18,67 miliar.
Pada tahun 2016, menurut data Gapki, hampir semua negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan kecuali Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. “Tahun ini sepertinya tak ada perubahan signifikan,” kata Togar.
Amerika Serikat mencatatkan peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia yang signifikan yaitu sebesar 43 persen atau dari 758,55 ribu ton pada 2015 menjadi 1,08 juta ton di 2016.
(Baca juga: Investor Jepang Siap Gelontorkan US$ 90 Juta untuk Hilirisasi Sawit)
Peningkatan permintaan minyak sawit oleh negara Paman Sam karena adanya perubahan pola penggunaan minyak nabati sejak diterapkannya larangan penggunaan trans fat (lemak trans) sejak Juni 2015. “Minyak sawit menjadi pilihan sebagai minyak pengganti karena tidak mengandung lemak trans,” kata Togar.
Peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia juga datang dari negara-negara Uni Eropa dengan mencatatkan kenaikan 3 persen dari 4,2 juta pada tahun 2015 meningkat menjadi 4,4 juta ton di 2016. “Meski ada berbagai kampanye hitam, namun kebutuhan akan minyak sawit tampaknya tidak terelakkan,” ujarnya.
Sebaliknya negara utama pengimpor minyak sawit asal Indonesia yaitu India, Cina dan Pakistan mencatatkan penurunan permintaan. China mencatatkan penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar 19 persen dari 3,99 juta ton menjadi 3,23 juta ton.
Selain itu, Pakistan membukukan penurunan permintaan minyak sawit di 2016 sebesar 5,5 persen dari 2,19 juta ton menjadi 2,07 juta ton di 2016. Begitu juga India yang membukukan penurunan tipis dari 5,8 juta ton di 2015 menjadi 5,78 juta ton di 2016.
(Baca juga: Efek Trump, Kenaikan Harga Komoditas Untungkan Indonesia)