Perusahaan asal Jepang, Kao akan menanamkan modal sebesar US$ 90 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun untuk mendirikan pabrik fatty acid di Dumai, Riau. Investasi tersebut akan dilakukan dengan pembentukan joint venture atau usaha patungan dengan perusahaan swasta nasional.
Pejabat Promosi Investasi Indonesia Investment Promotion Center (IIPC) di Tokyo, Jepang Saribua Siahaan menyampaikan bahwa perusahaan patungan tersebut direncanakan mulai beroperasi pada Januari 2017. Porsi kepemilikan saham Perusahaan Indonesia sebesar 65 persen dan Perusahaan Jepang sebesar 35 persen.
Menurut Saribua, perusahaan joint venture tersebut akan memproduksi fatty acid, bahan baku yang dibutukan untuk memproduksi berbagai jenis produk seperti detergen, sampo dan pembersih muka.
(Baca juga: Sri Mulyani Waspadai Dampak Penurunan Investasi Dunia)
"Pabrik tersebut ditargetkan mulai berproduksi pada 2019 di lahan seluas 44 ribu meter persegi di Dumai, Riau dengan kapasitas sebesar 100 ribu ton per tahun," kata Saribua dalam siaran pers, Jumat (27/1).
Pengoperasian pabrik di Dumai akan mendongkrak kapasitas produksi fatty acid Kao sebesar 130 persen dan meningkatkan porsi pasokan fatty acid internal perusahaan hingga 60 persen. Kao sendiri telah dikenal dengan beberapa merek dagang seperti Biore, Attack dan Laurier.
Saat ini, Kao memproduksi fatty acid di pabrik mereka di Wakayama, Jepang. "Pabrik yang di Indonesia akan menyediakan kebutuhan bahan baku untuk pabrik produk konsumer Kao di Thailand, Indonesia dan Vietnam," kata Saribua.
(Baca juga: Investasi Melonjak, Cina Incar Proyek Smelter dan Pembangkit Listrik)
Ia menambahkan bahwa BKPM melalui IIPC Tokyo secara aktif memfasilitasi perusahaan dalam mengajukan perizinan ke BKPM melalui fasilitas Investasi Izin 3 Jam dan juga akan terus mendukung dan membantu perusahaan sampai proyek ini mecapai commercial stages.
Pemerintah menyambut baik rencana investasi investor Jepang di sektor industri penghiliran minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil / CPO) di Indonesia, di mana potensi industri manufaktur berbasis CPO di Tanah Air masih sangat besar, karena kebutuhan bahan baku industri makanan dan produk konsumer terus meningkat.
Pemerintah, akan terus mendorong penghiliran di sektor industri berbasis CPO lewat kebijakan insentif dan disinsentif fiskal. Dukungan atas proses penghiliran industri CPO juga diberikan lewat pengembangan kawasan industri berbasis CPO, termasuk Dumai. Pemerintah menerapkan disinsentif bea keluar bagi produk CPO yang tarifnya semakin rendah semakin besar nilai tambah yang diberikan dalam proses produksi di Indonesia.
(Baca juga: BKPM: Trump dan Pilkada Jakarta Bisa Jadi Kendala Investasi 2017)