Investasi Melonjak, Cina Incar Proyek Smelter dan Pembangkit Listrik

Arief Kamaludin|KATADATA
Pelayanan izin usaha di PTSP BKPM
Penulis: Pingit Aria
26/1/2017, 13.18 WIB

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi di Indonesia sepanjang 2016 mencapai Rp 612,8 triliun. Dari jumlah itu, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp 216,2 triliun, sementara itu, Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp 396,6 triliun. Realisasi investasi ini berhasil menyerap tenaga kerja Indonesia sebanyak 1,39 juta pekerja.

Sementara, realisasi PMA berdasarkan asal negara masih didominasi oleh Singapura sebesar US$ 9,2 miliar. Disusul secara berturut-turut oleh Jepang dengan realisasi US$ 5,4 miliar, Cina dengan realisasi sebesar US$ 2,7 miliar, Hongkong sebesar US$ 2,2 miliar, dan Belanda sebesar US$ 1,5 miliar.

Kepala BKPM Thomas Lembong mengungkapkan investasi Cina memang jelas meningkat drastis. "Tiongkok adalah ekonomi terbesar di Asia Pasifik, meski di sini masih dilampaui Singapura," ujarnya, kemarin.

(Baca juga: Realisasi Investasi Tahun Lalu Melambat, Cuma Tumbuh 12 Persen)

Peringkat investasi Cina di Indonesia memang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, peringkat Cina sebagai investor terbesar di Indonesia ada di posisi tiga. Sebelumnya, Cina ada di peringkat lima pada 2015 dan peringkat delapan pada 2014.

Deputi Bidang Pengendalian dan Penanaman Modal BKPM M. Azhar Lubis menyatakan, investasi Cina banyak yang berasal dari pembangunan smelter dan pembangkit listrik. "Mereka besar di proyek-proyek tersebut," katanya.

Azhar menambahkan, realisasi investasi Cina selain di smelter dan pembangkit listrik adalah di sektor properti dan perkebunan. "Ada masuk juga mereka ke sektor akomodasi, seperti hotel," ujar Azhar Lubis.

Salah satu pusat industri smelter yang banyak menerima investasi Cina adalah Kawasan Industri Konawe di Sulawesi Tenggara dan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah. Keduanya merupakan bagian program pengembangan basis industri logam.

(Baca juga:  BKPM Terima Banyak Keluhan dari Pengusaha Smelter)

Kawasan industri terpadu dengan lahan seluas 2.000 hektar tersebut akan menarik investasi sebesar Rp 78 triliun. Jumlah tenaga kerja langsung yang terserap sebanyak 20 ribu orang, dan tidak langsung mencapai 80 ribu orang. Pada masa konstruksi, penggunaan tenaga kerja asing juga cukup tinggi.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, penyerapan puluhan ribu tenaga kerja di kawasan yang dikelola oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) ini akan terealisasi apabila pabrik stainless steel berkapasitas dua juta ton dan beberapa industri hilir lainnya telah beroperasi.

“Hingga Desember 2016, kebutuhan tenaga kerja pelaksana di kawasan industri ini mencapai 11.257 orang dan untuk tenaga kerja level supervisor atau engineer sebanyak 1.577 orang,” kata Airlangga.

(Baca juga:  BKPM: Trump dan Pilkada Jakarta Bisa Jadi Kendala Investasi 2017)

Di sana, sejak Januari 2016, telah beroperasi industri smelter feronikel PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry dengan kapasitas 600 ribu ton per tahun dan didukung oleh satu unit PLTU berkapasitas 2x150 MW. Pada awal 2016, perusahaan mencatatkan produksi sebanyak 193.806 ton.

Selain itu, terdapat pula industri smelter feronikel PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel dengan target kapasitas 600.000 ton per tahun dan stainless steel sebanyak 1 juta ton per tahun yang tahap pembangunannya saat ini mencapai 60 persen.

Menurut data BKPM, realisasi PMA pada lima sektor usaha terbesar adalah Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronik (US$ 3,9 miliar); Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi (US$ 2,9 miliar); Industri Kertas, Barang dari kertas dan Percetakan (US$ 2,8 miliar); Pertambangan (US$ 2,7 miliar); dan Industri Alat Angkutan dan Transportasi Lainnya (US$ 2,4 miliar

(Baca juga: Pekerja Asing di Proyek Smelter Bisa Mencapai 40 Persen)

Seemntara realisasi PMA berdasarkan lokasi proyek (5 besar) adalah Jawa Barat (US$ 5,5 miliar); DKI Jakarta (US$ 3,4 miliar); Banten (US$ 2,9 miliar); Sumatera Selatan (US$ 2,8 miliar); dan Jawa Timur (US$1,9 miliar).