Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengaku mendapat banyak keluhan terkait relaksasi ekspor mineral dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Keluhan ini datang dari investor yang telah berinvestasi membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
"Keluhan ya banyak, datang dari investor smelter. Tapi kami tentunya akan berusaha sebaik mungkin menanggapi keluhan itu," ujar Kepala BKPM Thomas Lembong saat konferensi pers, di Kantor BKPM, Jakarta, Rabu (25/1). (Baca: Aturan Baru Minerba Terancam Digugat, Luhut Pasang Badan)
Lembong mengaku instansinya tetap mendukung langkah pemerintah yang telah menerbitkan peraturan. Peraturan soal ekspor mineral dan pengenaan pajak ekspor mineral ini sudah melalui kajian yang matang. Dia mengatakan walaupun menerima banyak keluhan, tetapi investasi ini memang bukanlah segala-galanya. Pemerintah tentunya sudah mempertimbangkan dampak yang terjadi dan terus berupaya meningkatkan daya saing.
Dia menyadari aturan relaksasi ekspor ini bisa melemahkan semangat investor yang sudah membangun smelter. Bahkan aturan ini juga dinilai akan menurunkan minat investor merealisasikan pembangunan smelter. Mereka khawatir tidak akan mendapat pasokan bahan baku mineral, karena pemerintah bisa kembali merelaksasi aturan ekspor.
(Baca: Pemerintah Optimis Penerimaan Naik Berkat Aturan Baru Minerba)
Lembong menjelaskan pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah fundamental agar investor mau melanjutkan investasinya. Salah satunya dengan menekan harga gas yang telah menjadi sumber energi primer kelangsungan industri. Kedua, meningkatkan produktivitas buruh. Ketiga, meningkatkan kompetensi pekerja dengan memberikan pendidikan vokasional. Keempat, mengefisiensikan arus logistik.
"Kami upayakan bisa mengkompensasi dampak negatif adanya kebijakan mineral dengan perbaikan di sektor lain tersebut," ujar Lembong.
Seperti diketahui, pemeritah telah menerbitkan PP 1/2017 yang memuat relaksasi ekspor mineral. Jika ingin mengekspor konsentrat atau hasil tambangnya, pemegang Kontrak Karya (KK) wajib mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUP Khusus.
Syarat kedua, perusahaan tambang wajib membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam lima tahun ke depan. Pemerintah akan mengawasi prosesnya setiap enam bulan sekali. "Jika tidak ada perkembangan, kami setop izin ekspornya," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
(Baca: BPS Prediksi Aturan Baru Pertambangan Bisa Genjot Ekspor)
Syarat ketiga, kewajiban mendivestasikan sahamnya sebanyak 51 persen kepada Indonesia secara bertahap mulai tahun kelima hingga tahun ke-10 produksinya. Tujuannya agar negara memiliki hak mayoritas lebih besar dan menguasai wilayah kerja pertambangan.
Terkait jenis mineral yang boleh diekspor, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri. Beberapa di antaranya adalah nikel kadar rendah, bauksit kadar rendah, dan seng.