Pembahasan mengenai rencana pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mandek. Hingga saat ini pemerintah belum melakukan konsultasi dengan Komisi VI DPR terkait rencana ini.
Sebenarnya ada dua hal yang harus diselesaikan pemerintah terlebih dahulu agar rencana pembentukan holding BUMN bisa direalisasikan. Pertama, terkait legal hukum, yakni dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN. Kedua, pemerintah perlu berkonsultasi dengan DPR sebelum sebelum rencana ini dijalankan.
(Baca: Pembentukan Holding BUMN Tinggal Menunggu Restu DPR)
Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan payung hukum mengenai rencana integrasi BUMN ini masih belum ada kemajuan. Saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait hal ini masih berada di meja Kementerian Sekretariat Negara.
"RPP masih di Setneg. Masih sama saja. Lalu, kan kami diminta untuk melakukan Focus Group Disucussion (FGD) dengan komisi VI DPR. Nah, hal itu juga belum. Kami masih menunggu jadwalnya," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Kamis (13/10).
Menurut Edwin, sambil menunggu jadwal pertemuan dengan DPR, Kementerian BUMN terus melakukan sosialisasi kepada para pekerja BUMN yang terkait dengan pembentukan holding ini. Terutama kepada serikat pekerja PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. yang menjadi prioritas dalam pembentukan holding BUMN di sektor minyak dan gas bumi.
Dia belum bisa menjawab apakah dengan mandeknya pembahasan ini akan membuat realisasi pembentukan holding ini molor atau masih bisa terkejar sesuai jadwal. Pemerintah menargetkan holding BUMN bisa terbentuk sebelum tahun ini berakhir.
"Kajian sudah semua saya sampaikan. Draf Peraturan Pemerintah juga sudah kami siapkan. Ya ini tinggal kebijakan pemerintah saja (yang akan memutuskan)," kata Edwin. (Baca: Pembentukan Holding BUMN Masih Terganjal Aspek Hukum)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan rencana pembentukan holding BUMN masih memerlukan kajian yang panjang dan mendalam. Dia pun menyarankan Menteri BUMN Rini Soemarno agar tidak terburu-buru merealiasikan rencana ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang sudah menyetujui rencana pembentukan enam holding BUMN. Sektornya adalah migas, jasa keuangan, perumahan, pertambangan, jalan tol, dan pangan. Untuk merealisasikan hal ini perlu kesiapan dari semua BUMN yang terlibat, khususnya yang akan dijadikan perusahaan induk.
Darmin meragukan kesiapan semua BUMN tersebut. Dia memperkirakan hanya ada beberapa yang siap. Dari enam holding yang direncanakan, kemungkinan yang bisa terealisasi tahun ini hanya satu atau dua, yakni migas dan pertambangan. (Baca: Sri Mulyani: Rencana Holding BUMN Butuh Dukungan DPR)
“Kami sarankan tidak usah selesai (semua) dulu, karena itu pasti lama. Harus dipersiapkan, tidak harus diumumkan sekaligus semuanya, bisa saja dua yang siap, ya dua. Tiga yang siap, ya tiga," ujar Darmin di kantornya, Senin (26/09).
Edwin pun tidak mau berkomentar banyak mengenai saran dari Darmin. Yang jelas, Kementerian BUMN telah melaksanakan tugasnya dengan melakukan kajian mendalam terkait rencana pembentukan holding ini. Mengenai keputusan berapa banyak induk usaha BUMN yang bisa terbentuk tahun ini, dia menyerahkannya kepada atasannya Menteri BUMN Rini Soemarno dan jajaran menteri terkait lainnya.
Dia juga mengakui migas merupakan sektor holding yang paling siap saat ini. Di bawah Pertamina sebagai induk usaha BUMN migas, Edwin percaya bisa memberikan dampak positif yang besar terhadap kemajuan industri migas nasional.
Investasi untuk infrastruktur migas bisa meningkat dan lebih efisien. Dampak yang akan bisa terasa adalah biaya distribusi gas bisa ditekan karena tidak ada lagi persaingan antara Pertamina dan PGN. Alhasil, hal ini bisa membantu pemerintah untuk menurunkan harga gas sesuai yang diperintahkan Jokowi.
"Harapan kami kalau sudah efisien di infrastruktur, biaya distribusi gas bisa ditekan," kata Edwin. (Baca: Jokowi: Harga Gas Harus Turun!)