Isu Rokok Rp 50 Ribu, Sri Mulyani: Belum Ada Kenaikan Cukai

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
22/8/2016, 16.59 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan belum ada kebijakan baru pemerintah yang bisa mempengaruhi harga jual eceran maupun tarif cukai rokok. Pernyataan tersebut menanggapi isu yang berkembang belakangan ini bahwa  harga rokok akan naik hingga Rp 50 ribu per bungkus karena pemerintah ingin mencegah bahaya rokok bagi kesehatan masyarakat.

Ke depan, menurut dia, penetapan cukai rokok mengikuti Undang-Undang (UU) Bea dan Cukai dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. “Kebijakan harga jual eceran dan cukai rokok dilakukan sesuai UU cukai dan dalam rangka rencana APBN 2017 yang sampai saat ini masih dalam proses konsultasi berbagai pihak dan nantinya bisa diputuskan sebelum APBN 2017 dimulai,” katanya di Jakarta, Senin (22/8).

Berdasarkan RAPBN 2017 yang baru diajukan pemerintah kepada DPR, target penerimaan cukai ---termasuk cukai rokok—tahun depan sebesar Rp 157,2 triliun. Nilainya meningkat Rp 9,1 triliun atau 6 persen dari target penerimaan cukai dalam APBN Perubahan 2016.  

Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Heru Pambudi menambahkan, pihaknya masih berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait, ahli kesehatan, asosiasi dan pabrikan rokok mengenai perubahan atau penetapan tarif dan harga jual eceran rokok yang baru.

Yang jelas, pada dasarnya harga rokok selalu mengalami kenaikan seiring kenaikan tarif cukai. Sebagai gambaran, tarif cukai rokok pada tahun lalu naik 11 persen. (Baca: Cukai Plastik Membelah Dua Menteri)

Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan harga eceran dan tarif cukai rokok. Pertimbangan itu antara lain, dampak kenaikan harga rokok terhadap inflasi, pendapatan industri rokok, distributor, pedagang, hingga masyarakat. Selain itu, pemerintah mempertimbangkan faktor kesehatan masyarakat dari kenaikan harga rokok.  

“Itu jumlahnya kalau ditotal dari supply chain lagi sekitar 6 juta. Itu datanya dari beberapa sumber,” kata Heru. Karena itu, pemerintah harus berdiri di tengah-tengah dan tidak boleh condong ke satu pihak dalam menyikapi persoalan tersebut. (Ekonografik: Tertinggi di ASEAN, Kematian Akibat Kardiovaskular Indonesia)

Di sisi lain, Heru menyebut, harga rokok di Indonesia secara nominal memang lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti Singapura atau negara maju lainnya. Namun, jika melihat kemampuan daya beli masyarakat berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita per hari, maka harga jual rokok Indonesia tergolong tinggi. Nilainya yakni 0,8 persen, lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Jepang yang masing-masing sebesar 0,2 persen.

(Baca: 2016 Naik, Perusahaan Didorong Beli Cukai Rokok Tahun Ini)

Heru menambahkan, pemerintah akan mengumumkan tiga bulan sebelumnya jika jadi menaikkan harga rokok tahun depan. “Untuk memberi kesempatan bagi berbagai pihak untuk menyesuaikannya,” kata Heru.