PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) mengaku nilai investasi yang untuk membangun proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, akan direvisi kembali. Hal ini terjadi karena ada perubahan teknis yang harus dilakukan KCIC dalam pembangunan proyek tersebut.
Direktur Utama KCIC Hanggoro Budi Wiryawan mengatakan perubahan teknis terjadi pada lebar desain sumbu rel kereta cepat. Awalnya lebar sumbu rel yang akan dibangun berjarak 4,6 meter, tapi kemudian diubah menjadi 5 meter.
Alasannya KCIC ingin menyesuaikan desain ini dengan standar Cina.Kereta cepat di Cina menggunakan standar lebar sumbu rel dengan jarak 5 meter. Standar ini memungkinkan kereta tersebut bisa melaju dengan kecepatan 350 kilometer per jam. Jika jarak sumbunya dikurangi, maka kecepatan maksimal kereta juga berkurang. (Baca: Hermanto Dwiatmoko: Ada Politik di Belakang Kereta Cepat)
Selama ini Indonesia memang belum memiliki standar berapa lebar jarak sumbu rel kereta. Namun, berdasarkan arahan dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, jarak 4,6 meter sudah layak untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal dengan desain jarak sumbu rel selebar itu akan membatasi kecepatan laju kereta menjadi hanya 250 kilometer per jam.
Dengan perubahan teknis desain rel ini, ada kemungkinan total investasi yang dibutuhkan untuk membangun proyek ini akan lebih besar. Dampaknya, nilai pinjaman yang diajukan ke bank Cina, China Development Bank (CDB), juga akan membengkak. Namun Hanggoro tidak mau berspekulasi mengenai hal ini. (Baca: Jonan Minta KCIC Beli Semua Lahan untuk Kereta Cepat)
"Kami masih review dan hitung ulang kembali. Mudah-mudahan tidak ada perubahan krusial," kata Hanggoro saat acara buka puasa bersama di MD Building, Jakarta, Kamis (30/6). Setelah perhitungannya selesai, KCIC akan melaporkan ke CDB jika perubahan teknis ini mempengaruhi nilai investasi yang dibutuhkan.
Ini bukan kali pertama KCIC merevisi nilai investasi proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung. Sebelumnya Sebelumnya KCIC juga sudah merevisi total investasi dari yang awalnya mencapai US$ 5,5 miliar, turun menjadi US$ 5,13 miliar. Pengurangannya mencapai US$ 370 juta atau hampir Rp 5 triliun. (Baca: Biaya Susut Rp 5 Triliun, Proyek Kereta Cepat Rampung Mei 2019)
Penurunan nilai proyek tersebut karena keputusannya trayek (trase) yang digunakan adalah stasiun Halim di Jakarta dan Tegalluar di Bandung. Sebelumnya, trayek kereta cepat itu Gambir-Tegalluar. Alhasil, ada pengurangan panjang trayek dari 150 kilometer menjadi 142 kilometer.
Saat itu, revisi nilai investasi ini sampai menghambat jadwal pembangunan proyek tersebut. Kementerian Perhubungan enggan memberikan Izin Konsesi sebelum KCIC merevisinya. Hal ini sempat membuat pengerjaan proyeknya terkatung-katung selama dua bulan, sejak peletakan fondasi pertama (groundbreaking) oleh Presiden Joko Widodo.
Saat ini pengerjaan proyek kereta cepat ini sudah bisa berjalan. Pekan lalu Kementerian Perhubungan memberikan izin pembangunan sebesar 40 persen dari total panjang rel yang akan dibangun. Sebelumnya kementerian hanya memberikan izin ini sepanjang 5 kilometer, pada tiga bulan lalu. (Baca: Kemenhub Tambah Izin Pembangunan Kereta Cepat)
Direktur Jenderal Perleretaapian Kemenhub Prasetyo Boeditjahjono mengatakan tambahan izin ini diberikan untuk pembangunan prasarana di atas lahan yang sudah dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) anggota konsorsium kereta cepat. "Pada prinsipnya lahan tersebut milik PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, serta PT Kereta Api Indonesia (Persero) seperti di stasiun Padalarang," kata Prasetyo pekan lalu.
Hanggoro mengatakan saat ini sekitar 60 persen dari 84 kilometer lahan yang tersedia sudah siap dibangun. Untuk lahan yang ada di Halim, KCIC baru melakukan rancangan melalui Google Map, sembari menyelesaikan masalah lahannya dengan TNI Angkatan Udara, Kementerian Pertahanan, serta Kementerian Keuangan.