Daya Saing Industri Konstruksi Masih Lemah

Arief Kamaludin|KATADATA
19/5/2016, 19.05 WIB

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat meminta kontraktor Indonesia memperkuat daya saing bisnisnya. Bila tidak, posisi industri konstruksi dalam negeri kurang kompetitif.

Hal ini mulai terlihat dari turunnya angka ekspor konstruksi pada tahun lalu. Data Direktorat Jenderal Bina Konstruksi memperlihatkan ekspor konstruksi pada 2015 hanya Rp 2,92 triliun, turun dari Rp 3 triliun pada 2014. (Baca juga: Pertumbuhan Sektor Konstruksi Indonesia Timur Tertinggi).

Direktur Jenderal Bina Konstruksi Yusid Toyib mengatakan apabila kontraktor Indonesia tidak menggarap pasar di negara lain, daya saing konstruksi dan infrastruktur Indonesia akan melemah. Tanda tersebut terlihat dari ranking daya saing infrastruktur Indonesia yang berada di posisi 62 dalam The Global Competitiveness Report milik World Economic Forum (WEF).

“Saya tahu banyak kontraktor asing yang masuk ke dalam. Kita juga harus menyerang keluar karena ini menyangkut daya saing, jadi tolong ditingkatkan,” kata Yusid dalam konferensi pers Konstruksi Indonesia 2016 di Gedung Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Kamis, 19 Mei 2016.

Menurutnya, target ekspor konstruksi Indonesia dalam periode 2015 hingga 2019 hanya Rp 15 triliun. Di sisi lain, angka ekspor konstruksi asing ke Indonesia mencapai 70 persen dari nilai ekspor konstruksi ASEAN sekitar US$ 400 miliar.  (Baca pula: Asing Tertarik Bangun Perekonomian di Indonesia Timur).

Yusid khawatir apabila kue pembangunan infrastruktur dalam negeri habis maka kemampuan konstruksi swasta dan Badan Usaha Milik Negara tidak dapat diandalkan dalam membangun infrastruktur di manca negara. “Ini agar kita memiliki kemampuan konstruksi di luar negeri,” katanya.

Hal tersebut diakui Zali Yahya. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) ini, daya saing Sumber Daya Manusia konstruksi Indonesia relatif rendah apabila dibandingkan negara lain. Penyebabnya, banyak perusahaan mengerjakan proyek umum dan tidak memiliki satu bidang keahlian.

Asosiasinya mendata sekitar 91 persen perusahaan konstruksi bersifat umum (generalis). Hanya sembilan persen perusahaan konstruksi yang bisa dikatakan spesialis. Situasi ini terbalik bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang perusahaan konstruksinya terdiri dari 72 persen spesialis dan 28 persen umum. “Di Cina, generalis masih lebih banyak, tapi perbandingannya 51 persen kontraktor generalis dan 49 persen spesialis,” katanya.

Perusahaan konstruksi Indonesia juga masih memiliki budaya tidak menghormati kontrak kerja di negara lain. Selain itu, ada lagi ketakutan atas risiko default payment, akses modal terbatas, sampai dengan volatilitas mata uang. (Baca: Sembilan Kawasan Industri Terima Kemudahan Konstruksi).

Mengenai perkembangan usaha, Zali menyatakan ceruk pasar konstruksi Indonesia belum tergarap maksimal. Apalagi terkait program kerja Presiden Joko Widodo yang menggeber pembangunan infrastruktur secara besar-besaran.