BUMN yang Mau Berutang Bakal Diwajibkan Minta Restu DPR

Donang Wahyu|KATADATA
Gedung DPR
Penulis: Miftah Ardhian
21/4/2016, 19.16 WIB

Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 ini dianggap sangat mendesak untuk memperkuat pengawasan terhadap BUMN.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman mengatakan salah satu poin penting dalam RUU ini adalah terkait dengan permodalan BUMN. Nantinya modal BUMN tidak hanya berasal dari kekayaan negara yang dipisah dari keuangan negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Modal BUMN bisa juga berasal dari luar keuangan negara. Ini bisa didapat dari pinjaman pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung. 

Dalam UU 19/2003, permodalan BUMN hanya cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan diusulkan ke DPR lewat pemberian PMN dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara dalam RUU yang baru ini semua permodalan BUMN baik dari APBN maupun pinjaman harus melalui persetujuan DPR. “Usulannya ke DPR dan harus atas seizin DPR, jadi dijadikan PMN tidak langsung,” ujarnya saat ditemui di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/4). (Baca: DPR Minta BUMN Terkait Panama Papers Melapor ke Ditjen Pajak)

Menurut Azman, aturan ini sangat penting agar pengawasan terhadap BUMN bisa lebih baik. Selama ini pengawasan terhadap BUMN khususnya dalam melakukan pinjaman sangat lemah. BUMN terkesan bebas melakukan pinjaman ke mana saja, padahal dana tersebut tidak jelas penggunaannya. Pinjaman yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga malah membebani BUMN tersebut untuk melunasinya.

Dia mencontohkan kasus yang terjadi pada PT Merpati Nusantara Airlines (Persero). Maskapai penerbangan ini mendapat tambahan 15 unit pesawat MA60. Padahal pesawat ini tidak cocok dengan kondisi dan bisnis Merpati. Akhirnya perusahaan ini harus menanggung utang pembelian pesawat tersebut.

Kasus serupa juga terjadi pada PT Djakarta Lloyd (Persero) yang pernah mendapat tambahan kapal ukuran besar, tapi tidak bisa digunakan. Karena pelabuhan-pelabuhan yang ada di dalam negeri saat itu belum bisa menampung kapasitas kapal tersebut. Akhirnya kapal-kapal ini rusak begitu saja dan menjadi beban perusahaan sampai sekarang. 

“Berikutnya tidak bisa begitu. Kami akan ikut mengawasi aset itu,” kata Azman. DPR akan melakukan pengawasan saat merencanakan pembelian aset BUMN. Jadi setiap pinjaman yang dilakukan harus jelas peruntukannya dan didasarkan pada kebutuhan dan kondisi yang ada. (Baca: Jadi Induk Usaha BUMN, Investasi Pertamina Bakal Meningkat)

Mengenai perkembangan pembahasan RUU BUMN, saat ini sudah ada beberapa pasal yang sudah disepakati. Beberapa pasal ini terkait definisi, pemberian PMN, pendirian BUMN dan pembentukan anak usaha, serta aturan mengenai aset BUMN dan permodalannya. 

Ketua Komisi VI Hafizs Tohir mengatakan ada banyak hal yang dibahas dalam RUU ini, selain beberapa pasal yang sudah final tersebut. Diantaranya aturan mengenai “holding, sinergi BUMN, IPO (mencatatkan sahamnya di pasar modal) dan privatisasi, merger (penggabungan) dan akuisisi, aset perusahaan sebagai rezim kekayaan negara, capex (belanja modal), dan lain-lain,” ujar Hafizs.

Komisi VI juga memasukan satu poin yang juga tidak kalah penting, yaitu terkait mekanisme pemilihan direksi BUMN. Untuk menyempurnakan visi BUMN sebagai Good Corporate Governance (GCG), kata Hafizs, pemilihan direksi BUMN harus dilakukan dengan proses yang terbuka. Dengan ini, diharapkan keberadaan BUMN Indonesia bisa semakin baik. (Baca: Peraturan Pemerintah tentang Induk Usaha BUMN Segera Terbit)