KATADATA - Pengembangan kawasan industri di Teluk Bintuni, Papua, sebenarnya bisa menjawab permasalahan proyek Kilang Tangguh. Namun, proyek kawasan industri terancam mangkrak karena belum mendapat kepastian pasokan gas untuk industri yang akan dibangun.

Direktur Industri Kimia Dasar Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan saat ini pihaknya masih menunggu perhitungan harga gas yang dijual operator Kilang Tangguh, yakni BP Berau Ltd. Saat ini BP Berau sedang melakukan proses sertifikasi data cadangan gas yang ditargetkan April mendatang. Setelah itu BP Berau akan segera memberikan harga gas untuk industri.

Kepastian harga ini sangat penting, karena di kawasan industri Teluk Bintuni akan dibangun sentra industri petrokimia yang membutuhkan pasokan gas. Untuk industri pupuk, memang sudah ada alokasi dari Kilang Tangguh, tapi belum ada kesepakatan harganya.

"Untuk (industri) petrokimia alokasi dan harganya yang belum ada," kata Khayam saat ditemui di sela-sela rapat kerja Kemenperin di Bidakara, Jakarta, Selasa (12/2). (Baca: Tak Terserap, 18 Kargo Gas Akan Dijual di Pasar Spot)

Khayam juga mengatakan harga gas yang akan digunakan lebih baik ditetapkan dengan formulasi ketimbang penetapan harga secara tetap. Alasannya, investasi yang diperlukan untuk pengembangan industri sangat besar, di sisi lain harga komoditas gas bumi juga relatif bergerak. Agar harga gasnya bisa rendah, pemerintah bisa saja mengintervensi dengan menurunkan jatah penerimaan negara dari gas tersebut.

Dengan adanya kepastian harga, industri petrokimia yang akan masuk ke kawasan Teluk Bintuni, akan bisa mengkalkulasikan investasi dan bisnisnya. Setelah ada kesepakatan harga gas dari Kilang Tangguh, Kementerian Perindustrian akan meminta alokasi gas untuk industri petrokimia.

Pengajuan alokasi gas ini harus segera dilakukan, mengingat pembangunan train 3 Kilang Tangguh akan segera dimulai. Jika tidak mendapat alokasi, maka pembangunan industri petrokimia di Teluk Bintuni akan batal. (Baca: Pemerintah Kesulitan Cari Pembeli Gas di Dalam Negeri)

Proyek pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni ini sebenarnya bisa sejalan dengan pembangunan proyek train 3 Kilang Tangguh. Seperti diketahui, saat ini pembangunan proyek Kilang Train 3 Tangguh masih terkendala. Megaproyek senilai US$ 12 miliar atau sekitar Rp 162 triliun anak usaha BP Plc. itu terkatung-katung gara-gara ketidakpastian kontrak pembelian gas alam cair (liquefied natural gas / LNG).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menjanjikan penyelesaian keputusan investasi akhir (FID) train 3 Tangguh pada semester I tahun ini. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan akan segera mencari solusi dengan menetapkan pembeli domestik yang berkomitmen menyerap LNG hasil train 3 tangguh. Dia menargetkan dapat mengantongi nama pembeli tersebut sebelum akhir Maret 2016. (Baca: SKK Migas Usulkan Opsi Ekspor LNG Tangguh Train 3)

Kawasan industri Teluk Bintuni sebenarnya bisa menyerap gas tersebut cukup besar. Alokasi gas yang dibutuhkan untuk pabrik pupuk dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni pada tahap awal mencapai 180 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Untuk tahap dua akan dibangun industri petrokimia yang membutuhkan pasokan gas sebanyak 200 mmscfd.

Total pasokan gas yang dibutuhkan di kawasan industri tersebut mencapai 380 mmscfd. Produksi gas dari setiap train kilang tangguh sekitar 600 mmscfd. Artinya untuk kawasan industri Teluk Bintuni saja, sudah bisa menyerap 63 persen produksi satu train Kilang Tangguh. Ini lebih besar dari keinginan pemerintah untuk mengalokasikan 40 persen gas Kilang Tangguh.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution