KATADATA - Negosiasi perjanjian kontrak pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung masih alot. Akibatnya, hingga kini PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) belum mengantongi izin usaha proyek infrastruktur tersebut.
Kementerian Perhubungan menyatakan satu di antara yang menghambat penerbitan izin yakni karena KCIC meminta hak eksklusif di jalur tersebut. Mereka tak ingin ada jalur kereta lain sepanjang Jakarta – Bandung. Karena permintaan ini, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwi Atmoko mengatakan Kementerian belum menandatangani perjanjian konsesi. (Baca: Diresmikan Jokowi, Izin Proyek Kereta Cepat Belum Rampung).
Menurutnya, pemberian hak eksklusif melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian karena berpotensi menimbulkan penguasaan tunggal. “Amanah Undang-Undang tersebut tidak boleh ada monopoli, jadi boleh dong yang lain bisa bersaing dengan KCIC. Utamanya, di situ yang belum sepakat,” kata Hermanto melalui pesan singkat kepada Katadata, Kamis, 28 Januari 2016.
Selain itu, belum keluarnya izin pembangunan juga dipicu oleh tarik-ulur keinginan KCIC untuk mendapatkan jaminan apabila pembangunan kereta cepat merugi. Di sisi lain, Kementerian Perhubungan bersikukuh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak boleh dikeluarkan bagi proyek ini sesuai amanat Presiden Joko Widodo. “Jangan sampai merugikan keuangan negara. Makanya belum ada kesepakatan sampai sekarang,” ujar Hermanto.
Sebelumnya Hermanto mengatakan KCIC mulai mengajukan perubahan kebijakan dengan meminta ganti rugi dari pemerintah apabila proyek ini merugi. Namun Kementerian menampiknya. Bahkan menekankan bahwa konsesi pengelolaan kereta cepat oleh KCIC dibatasi palimg lama 50 tahun tanpa ada masa perpanjangan. (Baca: Izin Belum Keluar, Jonan: Kelayakan Kereta Cepat Urusan Menteri BUMN).
Selain itu, Kementerian juga mensyaratkan bahwa setelah 50 tahun proyek ini tidak boleh ada hutang dan seluruh prasarana harus dalam kondisi baik ketika dikembalikan kepada negara. “Pak Menteri (Ignasius Jonan) meminta 50 tahun saja dan tidak bisa diperpanjang. Ini biar KCIC berusaha dulu,” kata Hermanto.
Proyek kereta cepat ini diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada 21 Januari lalu. Walau telah dilakukan pencanangan fondasai pertama atau groundbreaking, proyek yang dioperatori oleh konsorsium Badan Usaha Milik Negara dan perusahan Cina itu ternyata masih terkendala sejumlah perizinan. Kelengkapan izin pembangunan harus menyertakan izin usaha dan mengantongi perjanjian penyelenggaran atau konsesi. (Baca: Proses Kilat, Megaproyek Kereta Cepat Resmi Dibangun).
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan tidak bermasksud menahan-nahan proyek tersebut. Dia hanya menjalankan tugas sebagai pejabat di kementerian teknis yang mengatur perizinan proyek tersebut. Karena itu, instansinya sedang mengebut menyelesaikannya. Dengan alasan itu, Jonan menyatakan tidak bisa hadir dalam acara groundbreaking yang dilakukan di Walini, Kabupaten Bandung tersebut.
Bila ditengok jauh ke belakang, proyek kereta cepat ini memang kerap mendapat sandungan sedari proses tender. Dua negara bersaing memperebutkannya: Jepang dan Cina. Proposal dua negara itu sempat membuat kabinet “terpecah” ke dalam dua kubu. Misalnya, Menteri Perhubungan Jonan lebih cenderung pada rencanana yang dibawa perusahaan Jepang. Di sisi lain, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menetapkan pilihannya kepada korporasi Cina.
Setelah tertunda beberapa lama, pada awal Oktober tahun lalu pemerintah memutuskan pemenang proyek ini adalah perusahaan Cina dengan menggandeng konsorsium BUMN. Begitu diputuskan, ketika itu ramai -juga di negara Cina- ada dugaan proposal kereta cepat dari Negeri Panda itu ternyata terbilang mahal. (Baca: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dari Cina Diduga Lebih Mahal).
Ketika itu, situs media Taiwan wantchinatimes.com melansir sebuah informasi yang menyebutkan bahwa paket Cina tidak lebih menarik dari proposal Jepang. Biaya yang diusulkan Negeri Panda ini lebih tinggi US$ 600 juta atau sekitar Rp 8,1 triliun, dari yang ditawarkan Jepang. Dasar perkiraannya adalah membandingkan pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung dengan proyek sejenis di negera tersebut.
Untuk menggarap kereta cepat Jakarta-Bandung, Cina menganganggarkan biaya 213 juta yuan, sekitar US$ 33,5 juta, per kilometer. Padahal, Cina hanya mengeluarkan dana kurang dari 100 juta yuan, sekira US$ 15,7 juta, per kilometer dalam membangun jalur Wuhan-Guangzhou. Adapun biaya proyek kereta cepat rute Beijing-Shanghai, “Tak lebih dari 177 juta yuan, setara US$ 27,8 juta per kilometer,” demikian wantchinatimes.com mengungkapkan informasi yang diperolehnya.