KATADATA ? Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan impor barang-barang dari Cina berpotensi meningkat dalam beberapa bulan ke depan akibat pengaruh devaluasi mata uang yuan. Padahal, per Juli 2015, porsi impor dari Cina sudah mencapai 24,04 persen terhadap total nilai impor nasional.
Deputi Bidang Statistik BPS Adi Lumaksono mengatakan, pengaruh depresiasi mata uang Cina kemungkinan baru akan terasa pada beberapa bulan ke depan. Terutama untuk impor barang modal dan bahan baku. Pasalnya, pemerintah mulai kuartal III ini berupaya mendorong pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan impor bahan baku dan barang modal.
?Tindakan Cina mendepresiasi yuan, salah satunya untuk meningkatkan daya saing ekspornya, termasuk ke Indonesia. Porsi impor (dari Cina) mendekati 25 persen, kemungkinan lebih besar (terasa) ke depan,? katanya di Jakarta, Selasa (18/8).
Bila peningkatan impor yang terjadi berupa barang modal dan bahan baku, menurut Adi, hal itu masih wajar. Sebab, tak banyak industri di dalam negeri yang menyediakan produk pengganti jenis barang impor tersebut. Namun, pemerintah harus mewaspadai bila pelemahan yuan ini juga meningkatkan impor barang konsumsi, seperti laptop dan telepon seluler (ponsel).
(Baca:Kinerja Perdagangan Indonesia Semakin Mengkhawatirkan)
Sekadar informasi, nilai impor Indonesia pada Juli 2015 mencapai US$ 10,08 miliar atau turun 22,4 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan secara kumulatif, nilai impor Januari?Juli 2015 sebesar US$ 84 miliar atau turun 19,2 persen dibandingklan periode sama tahun 2014. Tiga negara asal barang impor nonmigas terbesar periode Januari-Juli 2015 adalah Cina dengan nilai US$ 16,5 miliar (24 persen); Jepang US$ 8 miliar (11,7 persen), dan Singapura US$ 5 miliar (7,3 persen).
Dibandingkan dengan periode Januari-Juli 2015, nilai impor non-migas dari Cina cuma menurun tipis sekitar 4,64 persen selama tujuh bulan pertama tahun ini. Penurunan terbesar impor non-migas selama periode Januari-Juli 2015 berasal dari Jepang sebesar 19,7 persen, Singapura 16,9 persen, dan Thailand 16,6 persen. Adapun neraca dagang Indonesia terhadap Cina selama periode Januari-Juli 2015 masih mengalami defisit sebesar US$ 8,7 miliar.