Marak Tekstil Selundupan, Pengusaha Sebut Pengawasan Pemerintah Lemah

ANTARA FOTO/Fauzan/aww.
Pedagang menata kain tekstil dagangannya di Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Kamis (16/4/2020). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta pemerintah bertindak tegas mengawasi masuknya tekstil ilegal, lantaran akan merugikan pengusaha dalam negeri.
Editor: Ekarina
13/5/2020, 16.47 WIB

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai upaya pemerintah untuk mengawasi penyelundupan produk tekstil hingga saat ini lemah. Hal ini berpotensi mengancam kelangsungan usaha produsen dalam negeri karena terjadi selama  bertahun-tahun dan tanpa dikenai sanksi tegas. 

Sekretaris Eksekutif API Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, maraknya penyelundupan tekstil sangat merugikan pengusaha. Dia menyebut, masuknya tekstil ilegal telah menyebabkan pengusaha sulit memasarkan produk dan bersaing karena dijual dengan harga lebih murah. 

(Baca: Kejaksaan Kembali Periksa Pejabat Bea Cukai Soal Korupsi Impor Tekstil)

Kondisi ini makin menyulitkan, di tengah minimnya penjualan tekstil akibat penurunan daya beli masyarakat pasca-merebaknya pandemi corona

"Kami berharap pengawasan lebih diperketat lagi agar tak terjadi lagi penyelundupan bdengan berbagai modus agar pasar dalam negeri tumbuh dan terjaga, sehingga masyarakat punya pekerjaan dan negara juga punya penghasilan," kata dia kepada katadata.co.id, Rabu (13/5).

Menurut dia, beberapa modus yang digunakan pelaku ketika menyelundupkan tekstil antara lain menggunakan deklarasi barang pada dokumen dengan isinya berbeda. Lalu, dengan melampirkan jumlah barangnya berbeda atau dimasukkan melalui pelabuhan-pelabuhan tidak resmi. Ada pula modus lain yang sering digunakan yakni dengan cara mencantumkan  data yang berbeda dengan fisik barang.

Kendati demikian, Rizal enggan berspekulasi mengenai adanya indikasi permainan oknum-oknum pejabat dalam kasus tersebut. "Semoga aparat yang berwenang bisa membuktikan itu untuk melindungi pasar dalam negeri kemudian negara tak kehilangan potensi devisa," kata dia.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung memeriksa lima orang pejabat Kantor Pelayanan Utama (KPU) Direktorat Jendral (Dirjen) Bea Cukai Kota Batam. Pemeriksaaan tersebut terkait dugaan korupsi penyelundupan tekstil dari Tiongkok selama periode 2018-2020. 

(Baca: Industri Tekstil Bertumbangan, 80% Karyawan Sudah Dirumahkan)

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Hari Setiyono mengatakan pejabat Bea Cukai tersebut berstatus sebagai saksi. Kelima saksi yang diperiksa yakni Kepala KPU Bea Cukai Batam Susila Brata, Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Yosef Hendriyansah, serta Kepala Fasilitas Pabean dan Cukai Rully Ardian . 

Ada pula Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai II Bambang Lusanto Gustomo, serta Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan I M. Munif. "Kami telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-22/F.2/Fd,2/04/2020 guna melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) penyalahgunaan kewenangan dalam importasi rekstil pada Dirjen Bea dan Cukai Tahun 2018-2020," kata Hari dalam siaran pers pada Selasa (12/4).

Hari menjelaskan kronologi perkara tersebut bermula saat ditemukan 27 kontainer milik PT Flemings Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima oleh Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta Utara. Peristiwa tersebut terjadi pada  2 Maret 2020. 

Dari temuan itu, didapati adanya ketidaksesuaian jumlah dan jenis barang antara dokumen PPFTZ-01 Keluar dengan isi muatan hasil pemeriksaan fisik barang. Jumlah kelebihan fisik barang untuk PT. PGP sebanyak 5.075 roll dan PT. FIB sebanyak 3.075 roll.

Sebagai informasi, Tiongkok merupakan eksportir tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar ke Indonesia. Pada 2018, volume impor TPT asal Tiongkok mencapai 4.392 ton, turun 27,18% dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 6.031 ton. Impor TPT dari Tiongkok pada 2017 sempat melonjak hingga 123,29% dibandingkan 2016 yang sebesar 2.701 ton.

Secara berturut-turut, volume impor TPT asal Tiongkok mencapai 4.080 ton pada 2014 kemudian turun menjadi 3.530 ton pada 2015, dan turun lagi menjadi 2.701 pada 2016. Adapun nilai impor TPT asal Tiongkok pada 2018 sebesar US$ 42,7 juta, meningkat 19,75% dari periode sebelumnya yang sebesar US$ 35,7 juta.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto