Upah Makin Kompetitif, RI Berpeluang Dipilih AS Untuk Relokasi Pabrik

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nz
Pekerja menyelesaikan produksi alas kaki di Cibaduyut, Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/3/2020). Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menilai Indonesia berpeluang besar mendapatkan investasi dari Amerika Serikat (AS) yang ingin memindahkan modalnya dari Tiongkok.
15/5/2020, 20.29 WIB

Pengusaha alas kaki menilai Indonesia berpeluang mendapatkan investasi tambahan dari Amerika Serikat (AS) yang berencana memindahkan pabriknya dari Tiongkok. Pasalnya upah tenaga kerja Indonesia saat semakin kompetitif.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan Indonesia dapat memanfaatkan kondisi ini untuk membalas kekalahan dari Vietnam pada saat perang dagang. Ketika itu investor AS lebih memilih pindah ke Vietnam.

Namun, hal ini harus diimbangi dengan perbaikan regulasi dan perizinan untuk mempermudah investasi masuk. "Peluang kita sudah lebih bagus, kemarin tantangannya di biaya tenaga kerja yang sangat jauh dari Vietnam terutama di Banten dan Jawa Barat," ujar Firman kepada Katadata.co.id, Jumat (15/5).

Firman menyebutkan bahwa setelah kalah dari Vietnam, industri banyak yang merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah, termasuk industri alas kaki, untuk mencari tingkat upah yang lebih kompetitif. Sehingga dia optimistis kondisinya saat ini lebih menarik untuk ditawarkan kepada investor. "Semoga kami (industri alas kaki) bisa kelimpahan berkahnya," ujar dia.

(Baca: Hubungan AS-Tiongkok Memanas, Indonesia Jadi Tujuan Relokasi Investasi)

Meski demikian, menurut dia masih ada kekurangan yang harus diperbaiki yaitu dari sisi regulasi pengupahan buruh. Sebab, kalau masih menggunakan sistem yang lama, kekuatan daya saing upah hanya akan berlangsung dalam waktu singkat dan hal itu menjadi pertimbangan tersendiri bagi investor.

Tak hanya itu, proses perizinan harus dipercepat dan dipermudah sebaik mungkin. Kedua permasalahan ini merupakan masalah yang telah lama tak terselesaikan dengan baik.

"Artinya kalau setiap tahun naiknya seperti dulu lagi mungkin dalam lima hingga tujuh tahun kita sudah kalah kompetitif dengan Vietnam karena yang menjadi kendala itu regulasi akan diperhitungkan kemudian biaya-biaya lain misalkan perizinan juga akan dipertimbangkan," kata Firman.

Hal berbeda justru terjadi pada industri farmasi yang peluang untuk mendapatkan relokasi investasi dari AS sangat kecil. Pasalnya, investasi sektor farmasi masih minim peminat lantaran faktor tenaga kerja serta iklim usaha yang tidak menentu seperti yang dikeluhkan banyak pemodal asing.

(Baca: Imbas Pandemi Corona, 70% Industri Alas Kaki Terkendala Bahan Baku)

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Farmasi Tirto Koesnadi mengatakan bahwa hingga kini belum mendapatkan informasi resmi dari pemerintah mengenai relokasi pabrik yang rencananya akan dibangun di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Padahal, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah sangat optimistis akan AS akan merelokasi investasinya ke Indonesia.

"Masih terlalu dini membicarakan itu, Pak Luhut boleh cerita, tapi apakah investornya sudah yakin mau pindah ke Indonesia, karena kita terkenal dengan buruhnya susah diatur. Kemudian upah buruh dibentuk suka-suka oleh asosiasi buruh itu yang membuat investor takut," kata Tirto kepada Katadata.co.id, Selasa (12/4).

Kondisinya semakin tidak menarik lantaran banyak rumah sakit baik swasta maupun milik pemerintah kerap menunggak pembayaran obat. Hal ini bahkan terjadi hampir setiap bulan sehingga pengusaha farmasi merugi. Jika keterlambatan pembayaran terjadi berkepanjangan, maka bisa menyebabkan pelaku usaha gulung tikar.

(Baca: Pindah ke Brebes, Produsen Sepatu Adidas PHK 1.800 Karyawan)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto