Aturan Tenaga Kerja Perlu Direvisi untuk Gaet Relokasi Pabrik AS ke RI

ANTARA FOTO/REUTERS/Radovan Stoklasa/hp/cf
Ilustrasi pabrik. Kadin sebut Indonesia harus membenahi regulasi ketenagakerjaan terkait sistem pengupahan dan produktivitas pekerja jika ingin memiliki peluang untuk menangkap relokasi investasi dari AS dan Jepang dari Tiongkok.
20/5/2020, 14.43 WIB

Pemerintah harus membenahi regulasi ketenagakerjaan jika ingin menangkap peluang relokasi pabrik Amerika Serikat (AS) dan Jepang dari Tiongkok imbas pandemi corona. Pasalnya, hal tersebut merupakan salah satu keluhan dari investor asing yang tak terselesaikan hingga kini.

Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani mengatakan perubahan regulasi tersebut harus dilakukan secepat mungkin untuk dapat merayu investor. Sebab, saat ini negara lain juga membidik hal yang sama sehingga kompetisi semakin ketat.

"Peluang sangat besar karena Indonesia salah satu negara yang sangat berpotensi untuk investasi lantaran lahannya masih banyak. Masalahnya cuma satu, regulasi. Perizinan dan ketenagakerjaan yang memang perlu reformasi struktural," kata Shinta kepada Katadata.co.id, Rabu (20/5).

Menurut dia, beberapa industri manufaktur asal Jepang yang berencana hengkang dari Tiongkok yakni komponen elektronik dan komponen otomotif. Sedangkan dari AS berupa industri-industri padat karya tekstil, farmasi dan alat kesehatan.

(Baca: Selain dari Amerika, RI Bisa Gaet Relokasi Pabrik Jepang dari Tiongkok)

Kendati demikian, Shinta belum mengetahui berapa nilai investasi yang akan didapat jika relokasi tersebut dapat masuk ke Tanah Air. "Untuk angkanya saya masih belum bisa lihat karena masih menjajaki dulu," kata dia.

Lebih lanjut, Shinta meminta pemerintah untuk mengubah regulasi yang terkait dengan sistem pengupahan dan produktivitas tenaga kerja. Pasalnya, masih terjadi selisih upah yang sangat signifikan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini telah lama dikeluhkan oleh investor asal Negeri Sakura dan belum mendapatkan solusi konkret.

Untuk menyiasatinya, mayoritas investor baik domestik dan luar negeri memilih untuk memindahkan pabrik ke daerah yang tingkat upahnya relatif lebih murah. Selain itu, menurut Shinta pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki upah lebih rendah.

"Masalah ketenagakerjaan secara umum jadi tidak hanya upah tapi masalah produktivitas dan lain-lain kan ada banyak yang berhubungan dengan ketenagkerjaan. Kalau dari segi upah ini karena kita melihat selisih yang cukup besar anatardaerah di seluruh Indonesia," kata dia.

(Baca: Upah Makin Kompetitif, RI Berpeluang Dipilih AS Untuk Relokasi Pabrik)

Hal senada sebelumnya juga diungkapkan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF, Sugiyono Madelan Ibrahim. Dia berpendapat untuk menangkap peluang investasi tersebut, pemerintah antara lain harus mampu meningkatkan iklim investasi.

"Kalau menanamkan usaha kan pertimbangan untuk jangka waktu 30 - 80 tahun, jika kebijakan mudah sekali berubah-ubah akan merepotkan investor dan mereka lebih baik memilih relokasi di Vietnam atau Thailand," kata dia beberapa waktu lalu.

Selain berharap pada relokasi investasi, Sugiyono menyebut pemerintah masih dapat mendorong investasi di tengah pandemi corona ini dengan fokus pada pengembangan industri hilirisasi, serta industri alat perlindungan diri (APD) yang sebagian merupakan transformasi dari industri tekstil, dan industri alat kesehatan nonfarmasi.

(Baca: Hubungan AS-Tiongkok Memanas, Indonesia Jadi Tujuan Relokasi Investasi)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto