Pandemi corona secara nyata telah memukul perekonomian Jepang. Hasil produksi manufaktur Negeri Sakura menurun lebih cepat dari yang diperkirakan, disusul penurunan retail yang merupakan terbesar dalam 20 tahun terakhir.
Wabah virus corona telah menyebabkan permintaan domestik dan ekspor untuk komoditas kendaraan dan produk-produk manufaktur Jepang lainnya menurun tajam.
Data penurunan semakin memperlihatkan jurang resesi di negara ekonomi terbesar ketiga di dunia ini. Hal itu terjadi setelah kebijakan karantina wilayah atau lockdown yang diberlakukan pemerintah mengganggu rantai pasok dan membuat konsumen tetap di rumah.
(Baca: Susul Honda, Nissan Tutup Pabrik di Indonesia Akibat Corona)
Menurut data yang dirilis pemerintah pada Jumat (29/5), output produksi Jepang pada periode April turun 9,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan tersebut merupakan yang terbesar sejak 2013 akibat anjloknya produksi pabrikan mobil dan besi baja.
"Output produksi kemungkinan kembali meningkat mulai Juni dan seterusnya, namun perlu diwaspadai munculnya gelombang kedua virus corona," kata kepala ekonom di Norinchukin Research Institute Takeshi Minami, dikutip dari Reuters, Jumat.
Pemulihan produksi menurutnya bisa saja terjadi meski pun dalam tempo relatif lambat. Produksi mobil di Jepang bulan lalu turun sepertiga dibandingkan Maret 2020.
Produsen kendaraan Nissan Motor Co. sebelumnya menyatakan berencana memangkas kapasitas produksi dan model kendaraan sekitar seperlima untuk mengurangi biaya operasioal senilai 300 miliar yen (US$ 2,79 miliar), akibat penurunan penjualan.
Data terpisah menunjukkan, segmen retail anjlok pada laju tercepat mereka sejak Maret 1998 ketika keadaan darurat nasional menyebabkan bisnis sektor jasa seperti restoran ditutup.
(Baca: Jepang Ingatkan Risiko Ekonomi Negaranya Akibat Virus Corona )
Penjualan retail April 2020 pun anjlok 13,7% dibanding tahun sebelumnya yang terutama disebabkan oleh lesunya permintaan barang perdagangan umum, pakaian dan kendaraan.
Pemerintah Jepang pekan ini mencoba memperbaiki keadaan dengan menyetujui paket stimulus kedua senilai US$ 1,1 triliun. Sehingga total dana penyelamatan ekonomi dari pandemi mencapai US$ 2,2 triliun.
Pengangguran Naik
Pemerintah Jepang berupaya meningkatkan daya beli masyarakat yang melemah akibat pandemi. Komponen terbesar dari paket stimulus baru pemerintah salah satunya berupa program pinjaman untuk perusahaan kecil yang membutuhkan dana tunai untuk menyelamatkan usaha.
Pasalnya, data pemerintah lain juga menunjukkan, situasi memburuk juga terjadi di bursa tenaga kerja. Oleh sebab itu, dukungan stimulus untuk perusahaan kecil dan menengah tetap dibutuhkan untuk mencegah PHK.
Tingkat pengangguran Negeri Sakura periode April naik menjadi 2,6% atau tertinggi sejak 2017. Namun, angka ini jauh lebih rendah daripada tingkat di negara maju lainnya.
(Baca: Terhantam Sentimen Virus Corona, IHSG dan Bursa Asia Berguguran)
Mereka yang dikategorikan sebagai pekerja, dirumahkan hampir tiga kali lipat menjadi 4,2 juta pada bulan April.
Jumlah pekerja tidak tetap membukukan penurunan terbesar dari tahun ke tahun. Ketersediaan pekerjaan merosot ke level 1,32 atau terendah sejak Maret 2016.
Para analis mengatakan, sebagian besar pekerja terkonsentrasi di sektor jasa lawan dari sektor otomotif, yang terpukul parah sejak krisis keuangan global 2009.
"Jika permintaan di sektor otomotif tidak pulih, ada kemungkinan kondisi pekerjaan di sektor manufaktur akan semakin memburuk ke depan," kata Minami.